Wednesday, June 4, 2014

MAKALAH AMR MA'RUF NAHI MUNKAR



BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian ‘Amr
Secara etimologi ‘amr   berarti perintah. Sedangkan menurut terminologi adalah :
الأمر طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
”amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya.”
atau dapat didefinisikan,
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الإستعلاء
“Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya”.[1]
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa Amr itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amr, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang di dalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz (samar).
B.Bentuk-bentuk ‘amr
Dilihat dari segi bentuknya, maka shiyagh al-Amr dapat dibagi empat,[2]yakni :
1.  Fi’il Amr
Syighot al-Amr yang menggunakan fi’il amr, seperti firman Allah, QS. Al-Baqarah (2), 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku”.
Lafal   َأَقِيمُو dan ءَاتُو dalam ayat tersebut berbentuk fi’il amr dari fi’il madhi أقام dan أتي.
2. Fi’il mudhari’ yang dimasuki lam al-Amr, seperti firman Allah, QS. Al-Imran (4): 104 :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ…
“Dan hendaklah ada diantara kemu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan…”.
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa lafal   وَلْتَكُنْ adalah fi’il mudhari yang dimasuki lam al-Amr.
3.  Isim mashdar sebagai pengganti dari fi’il al-Amr
Lafal mashdar yang bermakna sebagai al-amr, seperti firman Allah, QS. Al-Isra’ (15):23 :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا…
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…”.
Lafal إِحْسَانًا pada ayat di atas adalah bentuk mashdar dari kata احسن- يحسن yang berarti berbuat baiklah.
4.  Isim fi’il al-Amr
Maksudnya adalah lafal yang berbentuk isim, namun diartikan dengan fi’il, misalnya :
عليكم انفسكم لايضركم من ضل اذاهتديتم
"Jagalah dirimu, tidaklah orang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu mendapat petunjuk….. (QS. Al-Mai'dah: 105).
Sedangkan menurut Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain:
a) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر). QS. An-Nahl: 90.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.

b) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب). QS. Al-Baqarah: 183
بايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون                     
"hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
 
c) Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan). Al-Ahzab/33 : 50
...قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Al-Ahzab/33 : 50)
C.Pengertian Nahi
Secara bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u). Menurut istilah meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain yang tingkatannya dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Melarang perbuatan kerusakan dimuka bumi berarti perintah menjaga kelestarian lingkungan dengan menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman.Dengan demikian jika suatu perbuatan itu dilarang maka saat itu juga harus segera ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang masa.[3]
D.Bentuk-bentuk Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:[4]
      a.Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 :
... وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ  ...
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
      b.Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
      c.Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan contoh, surat An-Nisa’ ayat 19 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا  ...
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
      d.Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152 :
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ   
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
      e.Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 :
وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi”.
      f.Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
      g.Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180.
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ 
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
      h.Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193.
فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.   
E.Hukum ‘Amr Ma’ruf Nahi Munkar      
Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' para Ulama.Dalil Al-Qur’an Firman Allah Swt :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung".[Al-Imran:104].
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,"Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkataan ini".[5]
Dan firman-Nya :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah". [Al-Imran :110].
Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,"Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya".[6]
Dalil Sunnah :
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
"Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman". [Riwayat Muslim].
Sedangkan Ijma' kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya :
1. Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, "Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”.[7]
2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,"Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menegaskan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur'an, lalu dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya".[8]
3. An-Nawawi berkata,"telah banyak dalil-dalil Al Qur'an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar".[9]
4. Asy-Syaukaniy berkata,"Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya".[10]
Dari pendapat para Ulama tersebut jelaslah bahwa kewajiban umat islam ini untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.
F.Derajat Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Amar ma'ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu 'ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini. Pendapat pertama memandang kewajiban tersebut adalah fardhu 'Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir, Az Zujaaj, Ibnu Hazm.Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar'i, diantaranya : [11]        
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104]
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُم untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu: وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya fardhu 'ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib 'ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan :
مَا لاَ يَتِمّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ .
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". [Ali Imran :110]      
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan syarat bergabung dengan umat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma'ruf nahi mungkar dan iman. Padahal bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu 'ain. Sebagaimana firman-Nya :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata,"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." [Fushilat :33]
Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu 'ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,"Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya".    
Sedangkan pendapat kedua memandang amar ma'ruf nahi mungkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash,[12]Al-Mawardiy, Abu Ya'la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy,[13]Ibnu Qudamah,[14]An-Nawawiy,[15] Ibnu Taimiyah,[16]Asy-Syathibiy[17] dan Asy-Syaukaniy.[18]
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini :
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
لْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104]
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah. Imam Al Jashash menyatakan,"Ayat ini mengandung dua makna. Pertama, kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban".[19]
Ibnu Qudamah berkata,"Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma'ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain".[20]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". [At-Taubah : 122]
Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.  
Syeikh Abdurrahman As Sa'diy menyatakan,"Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya".[21]
3.Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari'at, tingkatan amar makruf nahi mungkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah kema'rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
الذِّيْنَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُوْرِ

"(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan". [QS. 22:41]          
Imam Al Qurthubiy berkata,"Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya".[22]
Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,"Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah".[23]    
Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.         
Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu 'ain. Karena pelaku fardhu 'ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu 'ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.
Menurut saya pendapat ini Insya Allah pendapat yang rajih. Wallahu a'lam.
Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu 'ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :
Pertama : Ditugaskan oleh pemerintah.
Al Mawardi menyatakan,"Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar fardhu 'ain dengan perintah penguasa".[24]   
Kedua : Hanya dia yang mengetahui kema'rufan dan kemungkaran yang terjadi.   
An Nawawiy berkata,"Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu 'ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia".[25]
Ketiga : Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki orang tertentu.Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain bagi mereka.        
An Nawawi berkata,"Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema'rufan".[26]
Keempat : Perubahan keadaan dan kondisi.  
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, "Ketika sedikitnya para da'i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu 'ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya".[27]    
Demikianlah amar makruf nahi mungkar dalam tinjauan hukum Islam, mudah-mudahan hal ini mendorong kita untuk melaksanakan dan menegakkannya dalam kehidupan.
G.Keutamaan Orang Yang Ber-Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar      
Sejatinya suatu hal yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia mempunyai keutamaan yang besar bagi seseorang yang menunaikannya.
1. Diselamatkan dari keburukan/bencana/musibah yang akan menimpa.      
Allah Ta'ala berfirman: "Kami menyelamatkan orang-orang yang melarang dari keburukan dan Kami menerapkan hukuman kepada orang-orang yang menganiaya dengan siksaan yang pedih dengan sebab mereka berbuat kefasikan." [QS. Al-A'raf: 165].
  2.Allah memasukan kebahagian ke dalam hati.
Allah Ta'ala berfirman: "Hendaklah ada diantara engkau semua itu suatu umat -golongan- yang mengajak kepada kebaikan, memerintah dengan kebaikan serta melarang dari kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia." [QS. Ali-Imran: 104].   

Tapi dibalik itu maka meninggalkan Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar, juga mempunyai konsekuensi yang seimbang dengan keutamaan di atas, yaitu :
1. Turunnya Azab Allah         
Manakala di dalam suatu tempat atau negeri sudah terlampau banyak keburukan, kemungkaran, kefasikan dan kecurangan, maka kebinasaan dan kerusakan akan merata di daerah itu dan tidak hanya mengenai orang jahat-jahat saja, tetapi orang-orang shalih tidak akan dapat menghindarkan diri dari azab Allah itu, sekalipun jumlah mereka itu cukup banyak. 
Dari Annu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Perumpamaan orang yang berdiri tegak -untuk menentang orang-orang yang melanggar- pada had-had Allah -yakni apa-apa yang dilarang olehNya dan orang yang menjerumuskan diri di dalam had-had Allah yakni senantiasa melanggar larangan-laranganNya adalah sebagai perumpamaan sesuatu kaum yang berserikat yakni bersama-sama- ada dalam sebuah kapal, maka yang sebagian dari mereka itu ada di bagian atas kapal, sedang sebagian lainnya ada di bagian bawah kapal. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal itu apabila hendak mengambil air, tentu saja melalui orang-orang yang ada di atasnya -maksudnya naik keatas dan oleh sebab hal itu dianggap sukar-, maka mereka berkata: "Bagaimanakah andaikata kita membuat lobang saja di bagian bawah kita ini, suatu lobang itu tentunya tidak mengganggu orang yang ada di atas kita." Maka jika sekiranya orang yang bagian atas itu membiarkan saja orang yang bagian bawah menurut kehendaknya, tentulah seluruh isi kapal akan binasa. Tetapi jikalau orang bagian atas itu mengambil tangan orang yang bagian bawah -melarang mereka dengan kekerasan- tentulah mereka selamat dan selamat pulalah seluruh penumpang kapal itu." [HR. Bukhari]

Dalam sabda lainnya Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: 
"Sesungguhnya manusia itu bila melihat kemungkaran tapi tidak mengingkarinya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa-Nya yang juga menimpa mereka." [HR. Abu Dawud dalam Al-Malahim (4338), At-Tirmidzi dalam At-Tafsir (3057)]

2. Tidak dikabukannya Doa, Tidak Diberi Bila Meminta, dan Tidak Ditolong.       
Dalam sebuah Hadits Qudsi, dari Aisyah Radhiallahu'anha, Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: Allah berfirman: "Perintahkanlah kepada yang ma`ruf (kebaikan), dan laranglah dari hal yang munkar (keburukan), sebelum kalian berdoa lalu Aku tidak mengabulkan doa kalian, sebelum kalian meminta kepada-Ku lalu Aku tidak memberi kepada kalian, sebelum kalian meminta pertolongan kepada-Ku lalu aku tidak memberi pertolongan kepada kalian." [HR Ahmad (VI/159) dan al-Bazzâr (no. 3304)]

Kemungkaran itu jangan didiamkan saja merajalela. Bila kuasa harus diperingatkan dengan perbuatan agar terhenti kemungkaran tadi seketika itu juga. Bila tidak sanggup, maka dengan lisan (dengan nasihat peringatan atau perkataan yang sopan santun), sekalipun ini agak lambat berubahnya. Tetapi kalau masih juga tidak sanggup, maka cukuplah bahwa hati kita tidak ikut-ikut menyetujui adanya kemungkaran itu. Hanya saja yang terakhir ini adalah suatu tanda bahwa iman kita sangat lemah sekali. Karena dengan hati itu hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri, sedang dengan perbuatan atau nasihat itu dapat bermanfaat untuk kita dan masyarakat umum, hingga kemungkaran itu tidak terus menjadi-jadi.

Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa diantara engkau semua melihat sesuatu kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya itu dengan tangannya, jikalau tidak dapat, maka dengan lisannya dengan jalan menasihati orang yang melakukan kemungkaran tadi -dan jikalau tidak dapat juga- dengan lisannya, maka dengan hatinya -maksudnya hatinya mengingkari serta tidak menyetujui perbuatan itu. Yang sedemikian itu -yakni dengan hati saja- adalah selemah-lemahnya keimanan." (Riwayat Muslim).

3. Ridho Terhadap Kemungkaran berakibat Hilangnya Keimanan dalam Hati.
Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. bersabda: "Tiada seorang nabipun yang diutus oleh Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai beberapa orang hawari (penolong atau pengikut setia) dari kalangan umatnya, juga beberapa sahabat, yang mengambil teladan dengan sunnahnya serta mentaati perintahnya. Selanjutnya sesudah mereka ini akan menggantilah beberapa orang pengganti yang suka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, bahkan juga melakukan apa yang mereka tidak diperintahkan (pelaku bid'ah). Maka barangsiapa yang berjuang melawan mereka itu (yakni para penyeleweng dari ajaran-ajaran nabi yang sebenarnya ini) dengan tangan (atau kekuasaannya), maka ia adalah seorang mu'min, barangsiapa yang berjuang melawan mereka dengan lisannya, iapun seorang mu'min dan barangsiapa yang berjuang melawan mereka dengan hatinya, juga seorang mu'min, tetapi jikalau semua itu tidak -dengan tangan, lisan dan hati, maka tiada keimanan sama sekali sekalipun hanya sebiji sawi." (Riwayat Muslim).Semoga kita mampu untuk melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar ini, semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat dan menganugerahkan kesabaran kepada kita semua. Aamiin.

Tuntunan Ber-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

Dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar dibutuhkan 3 bagian penting yang satu sama lainnya saling membutuhkan dalam penegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. 
1.Niat Ikhlas
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Maka pertama sekali, hendaklah seseorang menjadikan urusannya karena Allah dan tujuannya adalah menta’ati Allah pada apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dan mencintai kemaslahatan manusia atau menegakkan hujjah terhadap mereka. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang disebutkan di atas karena ingin mencari kedudukan untuk dirinya dan golongannya serta merendahkan orang lain, maka perbuatan itu menjadi hamiyah (fanatik golongan atau hizbiyyah) yang tidak diterima Allah. 

Begitu juga kalau dia mengerjakanya karena mencari sum’ah (reputasi / ingin didengar orang) dan riya’ (disimulasi / ingin dilihat orang), maka perbuatan itu akan menjadi sia-sia. Kemudian apabila perbuatannya itu dibantah atau dirinya disakiti atau dikatakan terhadap dirinya, bahwa dia itu adalah orang yang salah dan tujuannya salah, maka dia mencari pertolongan (pendukung) untuk memenangkan dirinya sendiri, sehingga syaitan pun mendatanginya.[Minhaajus Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]

2.Ilmu Syariat
Ilmu syariat sangatlah diperlukan dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar. Darimana seseorang tahu apa-apa kebaikan yang harus ia perintahkan dan mana saja keburukan yang harus ia cegah darinya bilamana ia sendiri tidak mengetahui yang mana yang ma'ruf dan yang mana yang mungkar. Perlu diketahui bahwa "Apa-apa yang menurut kita baik, belum tentu itu baik dan apa-apa yang menurut kita tidak baik, belum tentu itu keburukan, semua kebaikan dan semua keburukan telah disebutkan tanpa ada celah tertinggal di dalam syariat Islam yang sempurna ini".Orang-orang yang hanya berpegang atau mengedepankan akalnya saja dalam menghukumi suatu perbuatan itu baik atau tidak baik, jelas akan lebih banyak salah dan sesat dari jalan kebenaran itu sendiri. Wahyu berupa Al Quran dan As Sunnah harus menjadi imam dari akal, bukan sebaliknya.     
Mengedepankan akal dalam agama ibarat seseorang yang berjalan di tengah hutan belantara yang luas dengan berbekal lilin. Ia akan berputar-putar, tersandung, bahkan bisa jadi lilin yang menjadi penerangnya tersebut mati tertiup angin atau dikarenakan lain hal. Sedangkan apabila wahyu yang menjadi imam dari akal, maka wahyu tersebut ibarat bintang yang terang benderang di kegelapan malam yang menembus dedaunan, seseorang di dalam hutan dengan berbekal lilin tidak akan tersesat bila mengambilnya sebagai penunjuk arah. Lilin ia gunakan untuk melihat sekitarnya agar terhindar dari lubang atau akar yang melintang, dan bintang ia jadikan sebagai penunjuk jalan kemana ia harus melangkah.

3.Kelembutan dan Kesabaran
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Berlemah-lembut di waktu menyuruh, serta bijaksana setelah menyuruh. Kalau seandainya ia bukan seorang yang ‘alim, maka ia tidak boleh mengikuti apa yang tidak ia ketahui. Kalau seandainya ia seorang yang ‘alim (berilmu), tetapi tidak berlemah-lembut, maka bagaikan seorang dokter yang tidak mempunyai sikap lemah-lembut, lantas bersikap kasar terhadap pesien, akibatnya pasien pun tidak menerimanya. Dan seperti seorang pendidik yang kasar, maka anak pun tidak bisa menerimanya". [Minhaajus Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]       
Keberhasilan suatu dakwah memerlukan kesabaran dalam melakukannya. Allah Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya bagi yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan keteguhan hati." [QS. As-Syura: 43].         
Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya sikap lemah-lembut itu tidak menetap dalam sesuatu perkara, melainkan ia makin memperindah hiasan baginya dan tidak dicabut dari sesuatu perkara, melainkan membuat cela padanya." (Riwayat Muslim) .          
Dari Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma., katanya: "Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan." (Riwayat Muslim).[28]




[1]Satria Effendi. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 178-179.
[2] Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 191-192.
[3] Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h.66
[4]KhaizaturRafiah,http://makalahmakalahkuliah.blogspot.com/2010/06/ufiqh_5840.html, tanggal 7 November 2012, Pukul: 20:34.
[5] Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405.
[6] Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453.
[7] Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19.
[8] Al-Jashash, Ahkamul Qur'an , 2/486.
[9] An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22.
[10] Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450.
[11]Dr. Hamd bin Nashir Al-Amaar, Hakikat Al-Amr Bil Ma'ruf wan-Nahi ‘Anil Mungkar, h.40-51dengan perubahan.
[12] Al Jashash, Ahkamul Qur'an, 2/29.
[13] Al Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, 4/165.
[14] Ibnu Qudamah, Mukhtashor Minhajul Qashidiin, h.156.
[15] An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/23.
[16] Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar , h.37.
[17] Asy Syathibiy, Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy Syari'at, 1/126.
[18] Asy Syaukaiy, Fathul Qadir, 1/450.
[19] Al Jashash, Ahkamul,  2/29.
[20] Ibnu  Qudamah, Mukhtashar, h. 156.
[21] As Sa'diy, Tafsir Karimir Rahman, 3/315, lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, h. 43.
[22] Al Qurthubi, Tafsir, 4/165.
[23] Ibnu Taimiyah, Al Amr, h.37.
[24] Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, h.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar h.50.
[25] An Nawawiy, Syarah, 2/23.
[26] Ibid, 2/3.
[27] Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du'at, h. 16.
[28] http://kisahrasulnabisahabat.blogspot.com/2014/01/kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar_16.html


PEDOMAN HIDUP AL-QUR'AN N AL-HADITS....

No comments:

Post a Comment