BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
‘Amr
Secara etimologi ‘amr berarti perintah. Sedangkan menurut terminologi adalah :
الأمر طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
”amr
adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng
lebih rendah tingkatannya.”
atau
dapat didefinisikan,
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الإستعلاء
“Suatu tuntutan
(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya”.[1]
Dari definisi di atas
dapat dipahami bahwa Amr itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz
yang memakai sighat (bentuk kata) Amr, tetapi ditunjukkan pula
oleh semua bentuk kata yang di dalamnya mengandung arti perintah, sebab
perintah itu terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz (samar).
B.Bentuk-bentuk
‘amr
Dilihat dari segi
bentuknya, maka shiyagh al-Amr dapat dibagi empat,[2]yakni :
1. Fi’il Amr
Syighot al-Amr yang menggunakan fi’il
amr, seperti firman Allah, QS. Al-Baqarah (2), 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah
bersama orang-orang yang ruku”.
Lafal َأَقِيمُو dan ءَاتُو
dalam ayat tersebut berbentuk fi’il amr dari fi’il madhi أقام dan أتي.
2. Fi’il mudhari’
yang dimasuki lam al-Amr, seperti firman Allah, QS. Al-Imran (4):
104 :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ…
“Dan hendaklah ada diantara kemu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan…”.
Dari ayat di atas dapat
dilihat bahwa lafal وَلْتَكُنْ adalah fi’il
mudhari yang dimasuki lam al-Amr.
3. Isim
mashdar sebagai pengganti dari fi’il al-Amr
Lafal mashdar
yang bermakna sebagai al-amr, seperti firman Allah, QS. Al-Isra’ (15):23
:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا…
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya…”.
Lafal إِحْسَانًا
pada ayat di atas adalah bentuk mashdar dari kata احسن-
يحسن yang berarti berbuat
baiklah.
4. Isim fi’il
al-Amr
Maksudnya adalah lafal
yang berbentuk isim, namun diartikan dengan fi’il, misalnya :
عليكم انفسكم لايضركم من ضل اذاهتديتم
"Jagalah dirimu, tidaklah orang sesat itu akan memberi mudarat
kepadamu apabila kamu mendapat petunjuk….. (QS. Al-Mai'dah: 105).
Sedangkan menurut
Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya
atau redaksi antara lain:
a) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر). QS. An-Nahl: 90.
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
b) Perintah dalam
bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai
kata kutiba (كتب). QS.
Al-Baqarah: 183
بايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم
تتقون
"hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah:
183).
c) Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan). Al-Ahzab/33 : 50
...قَدْ عَلِمْنَا
مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya
tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.( Al-Ahzab/33 : 50)
C.Pengertian Nahi
Secara bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u).
Menurut istilah meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain
yang tingkatannya dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya
dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Melarang perbuatan
kerusakan dimuka bumi berarti perintah menjaga kelestarian lingkungan dengan
menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman.Dengan demikian jika suatu
perbuatan itu dilarang maka saat itu juga harus segera ditinggalkan dan tidak
boleh dilakukan sepanjang masa.[3]
D.Bentuk-bentuk Nahi
Dalam melarang suatu
perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai
beragam gaya bahasa diantaranya:[4]
a.Larangan secara tegas dengan memakai kata naha
atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat
An-Nahl ayat 90 :
... وَيَنْهَىٰ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ...
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b.Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu
perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا
لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
“Katakanlah :
"Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar”.
c.Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu
tidak halal dilakukan contoh, surat An-Nisa’ ayat 19 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ...
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa”.
d.Larangan dengan
menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau
mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal
surat Al-An’am ayat 152 :
وَلَا
تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ
أَشُدَّهُ ۖ
“Dan janganlah kamu
dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa”.
e.Larangan dengan memakai kata perintah namun
bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am
ayat 120 :
وَذَرُوا
ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang
tersembunyi”.
f.Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan
siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih”.
g.Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan
keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180.
وَلَا
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ
خَيْرًا لَّهُم ۖ
“Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h.Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan
itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193.
فَإِنِ
انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.
E.Hukum ‘Amr
Ma’ruf Nahi Munkar
Amar
ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah Subhanahu wa
Ta'ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur'an
dan As-Sunnah serta Ijma' para Ulama.Dalil Al-Qur’an Firman Allah Swt :
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung".[Al-Imran:104].
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,"Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkataan ini".[5]
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,"Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkataan ini".[5]
Dan firman-Nya
:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
"Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah". [Al-Imran :110].
Umar
bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,"Wahai sekalian manusia,
barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat
Allah darinya".[6]
Dalil Sunnah :
Dalil Sunnah :
Sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيمَانِ
"Barang
siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak
mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu
selemah-lemahnya iman".
[Riwayat Muslim].
Sedangkan Ijma'
kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya :
1. Ibnu Hazm
Adz Dzahiriy, beliau berkata, "Seluruh umat telah bersepakat mengenai
kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan diantara mereka
sedikitpun”.[7]
2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,"Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menegaskan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar melalui beberapa
ayat dalam Al Qur'an, lalu dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir.
Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas
kewajibannya".[8]
3. An-Nawawi berkata,"telah banyak dalil-dalil Al Qur'an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar".[9]
4. Asy-Syaukaniy berkata,"Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya".[10]
Dari pendapat para Ulama tersebut jelaslah bahwa kewajiban umat islam ini untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.
F.Derajat Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
3. An-Nawawi berkata,"telah banyak dalil-dalil Al Qur'an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar".[9]
4. Asy-Syaukaniy berkata,"Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya".[10]
Dari pendapat para Ulama tersebut jelaslah bahwa kewajiban umat islam ini untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.
F.Derajat Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Amar
ma'ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat Islam, bagaimanakah
derajat kewajibannya? Apakah fardhu 'ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama
berselisih tentang hal ini. Pendapat pertama memandang kewajiban tersebut
adalah fardhu 'Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu
Katsir, Az Zujaaj, Ibnu Hazm.Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar'i,
diantaranya : [11]
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ
أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah
orang-orang yang beruntung".
[Ali Imran:104]
Mereka
mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُم untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan
sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian
juga akhir ayat yaitu: وَأُوْلاَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ Menegaskan
bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan amalan tersebut.
Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya fardhu 'ain. Oleh karena itu
memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib 'ain juga. Karena dalam kaedah
disebutkan :
مَا لاَ يَتِمّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Satu kewajiban
yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ .
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik". [Ali Imran
:110]
Dalam
ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan syarat bergabung dengan umat
Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma'ruf nahi mungkar dan iman. Padahal
bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu 'ain. Sebagaimana firman-Nya :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shaleh dan berkata,"Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri."
[Fushilat :33]
Sehingga
memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu 'ain. Sebagaimana Umar bin Al
Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam
barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali
Imran:110,"Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat
tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya".
Sedangkan
pendapat kedua memandang amar ma'ruf nahi mungkar fardhu kifayah. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu
Bakr Al-Jashash,[12]Al-Mawardiy,
Abu Ya'la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy,[13]Ibnu
Qudamah,[14]An-Nawawiy,[15]
Ibnu Taimiyah,[16]Asy-Syathibiy[17]
dan Asy-Syaukaniy.[18]
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini :
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
لْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104]
Mereka
mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan
hukumnya fardhu kifayah. Imam Al Jashash menyatakan,"Ayat ini mengandung
dua makna. Pertama, kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah.
Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena
kewajiban".[19]
Ibnu Qudamah
berkata,"Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma'ruf nahi mungkar
yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain".[20]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن
كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
"Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya". [At-Taubah :
122]
Hukum
tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya
untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu
tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum
muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.
Syeikh
Abdurrahman As Sa'diy menyatakan,"Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan
orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan
seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan
kemaslahatan dan kemanfaatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya
satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya".[21]
3.Tidak semua
orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena orang yang
menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui
hukum-hukum syari'at, tingkatan amar makruf nahi mungkar, cara menegakkannya,
kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar
ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan
kemungkaran dan mencegah kema'rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut
dan sebaliknya.
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
الذِّيْنَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ
وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
وَلِلهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُوْرِ
"(yaitu)orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah
dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan". [QS. 22:41]
Imam
Al Qurthubiy berkata,"Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya dimuka
bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada mereka yang diberi
kemampuan untuknya".[22]
Oleh
karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,"Demikian kewajiban amar
ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi
merupakan fardhu kifayah".[23]
Akan
tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak
berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. Karena terlaksananya fardhu
kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila
kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka
seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.
Pelaku
amar makruf nahi mungkar adalah orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu
kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu
'ain. Karena pelaku fardhu 'ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri,
sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum
muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu 'ain jika ditinggalkan, maka hanya
dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa
seluruhnya.
Menurut saya pendapat
ini Insya Allah pendapat yang rajih. Wallahu a'lam.
Amar
makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu 'ain, menurut kedua pendapat diatas,
apabila :
Pertama : Ditugaskan oleh pemerintah.
Al
Mawardi menyatakan,"Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar fardhu
'ain dengan perintah penguasa".[24]
Kedua : Hanya
dia yang mengetahui kema'rufan dan kemungkaran yang terjadi.
An
Nawawiy berkata,"Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah.
Kemudian menjadi fardhu 'ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya
kecuali dia".[25]
Ketiga : Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki orang
tertentu.Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada
sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain
bagi mereka.
An Nawawi
berkata,"Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain, jika
berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti
seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau
tidak berbuat kema'rufan".[26]
Keempat : Perubahan keadaan dan kondisi.
Syeikh Abdul
Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain dengan
sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, "Ketika
sedikitnya para da'i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti
keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu 'ain atas setiap orang
sesuai dengan kemampuannya".[27]
Demikianlah
amar makruf nahi mungkar dalam tinjauan hukum Islam, mudah-mudahan hal ini
mendorong kita untuk melaksanakan dan menegakkannya dalam kehidupan.
G.Keutamaan Orang Yang
Ber-Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar
Sejatinya suatu hal
yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia mempunyai keutamaan yang besar bagi
seseorang yang menunaikannya.
1. Diselamatkan dari
keburukan/bencana/musibah yang akan menimpa.
Allah Ta'ala berfirman:
"Kami menyelamatkan orang-orang yang melarang dari keburukan dan Kami
menerapkan hukuman kepada orang-orang yang menganiaya dengan siksaan yang pedih
dengan sebab mereka berbuat kefasikan." [QS. Al-A'raf: 165].
2.Allah
memasukan kebahagian ke dalam hati.
Allah Ta'ala berfirman:
"Hendaklah ada diantara engkau semua itu suatu umat -golongan- yang
mengajak kepada kebaikan, memerintah dengan kebaikan serta melarang dari
kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia." [QS.
Ali-Imran: 104].
Tapi dibalik itu maka
meninggalkan Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar, juga mempunyai konsekuensi
yang seimbang dengan keutamaan di atas, yaitu :
1. Turunnya Azab Allah
Manakala di dalam suatu
tempat atau negeri sudah terlampau banyak keburukan, kemungkaran, kefasikan dan
kecurangan, maka kebinasaan dan kerusakan akan merata di daerah itu dan tidak
hanya mengenai orang jahat-jahat saja, tetapi orang-orang shalih tidak akan
dapat menghindarkan diri dari azab Allah itu, sekalipun jumlah mereka itu cukup
banyak.
Dari Annu'man bin
Basyir radhiallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Perumpamaan
orang yang berdiri tegak -untuk menentang orang-orang yang melanggar- pada
had-had Allah -yakni apa-apa yang dilarang olehNya dan orang yang menjerumuskan
diri di dalam had-had Allah yakni senantiasa melanggar larangan-laranganNya
adalah sebagai perumpamaan sesuatu kaum yang berserikat yakni bersama-sama- ada
dalam sebuah kapal, maka yang sebagian dari mereka itu ada di bagian atas
kapal, sedang sebagian lainnya ada di bagian bawah kapal. Orang-orang yang
berada di bagian bawah kapal itu apabila hendak mengambil air, tentu saja
melalui orang-orang yang ada di atasnya -maksudnya naik keatas dan oleh sebab
hal itu dianggap sukar-, maka mereka berkata: "Bagaimanakah andaikata kita
membuat lobang saja di bagian bawah kita ini, suatu lobang itu tentunya tidak
mengganggu orang yang ada di atas kita." Maka jika sekiranya orang yang
bagian atas itu membiarkan saja orang yang bagian bawah menurut kehendaknya,
tentulah seluruh isi kapal akan binasa. Tetapi jikalau orang bagian atas itu
mengambil tangan orang yang bagian bawah -melarang mereka dengan kekerasan-
tentulah mereka selamat dan selamat pulalah seluruh penumpang kapal itu."
[HR. Bukhari]
Dalam sabda lainnya
Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya
manusia itu bila melihat kemungkaran tapi tidak mengingkarinya, maka
dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa-Nya yang juga menimpa mereka." [HR. Abu Dawud dalam Al-Malahim (4338), At-Tirmidzi dalam At-Tafsir
(3057)]
2. Tidak dikabukannya
Doa, Tidak Diberi Bila Meminta, dan Tidak Ditolong.
Dalam sebuah Hadits
Qudsi, dari Aisyah Radhiallahu'anha, Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bersabda: Allah berfirman: "Perintahkanlah kepada yang ma`ruf
(kebaikan), dan laranglah dari hal yang munkar (keburukan), sebelum kalian
berdoa lalu Aku tidak mengabulkan doa kalian, sebelum kalian meminta kepada-Ku lalu
Aku tidak memberi kepada kalian, sebelum kalian meminta pertolongan kepada-Ku
lalu aku tidak memberi pertolongan kepada kalian." [HR Ahmad (VI/159)
dan al-Bazzâr (no. 3304)]
Kemungkaran itu jangan
didiamkan saja merajalela. Bila kuasa harus diperingatkan dengan perbuatan agar
terhenti kemungkaran tadi seketika itu juga. Bila tidak sanggup, maka dengan
lisan (dengan nasihat peringatan atau perkataan yang sopan santun), sekalipun
ini agak lambat berubahnya. Tetapi kalau masih juga tidak sanggup, maka cukuplah
bahwa hati kita tidak ikut-ikut menyetujui adanya kemungkaran itu. Hanya saja
yang terakhir ini adalah suatu tanda bahwa iman kita sangat lemah sekali.
Karena dengan hati itu hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri, sedang dengan
perbuatan atau nasihat itu dapat bermanfaat untuk kita dan masyarakat umum,
hingga kemungkaran itu tidak terus menjadi-jadi.
Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa diantara engkau semua melihat
sesuatu kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya itu dengan tangannya, jikalau
tidak dapat, maka dengan lisannya dengan jalan menasihati orang yang melakukan
kemungkaran tadi -dan jikalau tidak dapat juga- dengan lisannya, maka dengan
hatinya -maksudnya hatinya mengingkari serta tidak menyetujui perbuatan itu.
Yang sedemikian itu -yakni dengan hati saja- adalah selemah-lemahnya
keimanan." (Riwayat Muslim).
3. Ridho Terhadap Kemungkaran berakibat Hilangnya Keimanan dalam Hati.
Dari Ibnu Mas'ud
radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
bersabda: "Tiada seorang nabipun yang diutus oleh Allah sebelumku,
melainkan ia mempunyai beberapa orang hawari (penolong atau pengikut setia)
dari kalangan umatnya, juga beberapa sahabat, yang mengambil teladan dengan
sunnahnya serta mentaati perintahnya. Selanjutnya sesudah mereka ini akan
menggantilah beberapa orang pengganti yang suka mengatakan apa yang tidak
mereka lakukan, bahkan juga melakukan apa yang mereka tidak diperintahkan
(pelaku bid'ah). Maka barangsiapa yang berjuang melawan mereka itu (yakni para
penyeleweng dari ajaran-ajaran nabi yang sebenarnya ini) dengan tangan (atau
kekuasaannya), maka ia adalah seorang mu'min, barangsiapa yang berjuang melawan
mereka dengan lisannya, iapun seorang mu'min dan barangsiapa yang berjuang
melawan mereka dengan hatinya, juga seorang mu'min, tetapi jikalau semua itu
tidak -dengan tangan, lisan dan hati, maka tiada keimanan sama sekali sekalipun
hanya sebiji sawi." (Riwayat Muslim).Semoga kita mampu untuk
melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar ini, semoga Allah memberikan
ilmu yang bermanfaat dan menganugerahkan kesabaran kepada kita semua. Aamiin.
Tuntunan Ber-Amar
Ma'ruf Nahi Mungkar
Dalam ber-amar ma'ruf
nahi mungkar dibutuhkan 3 bagian penting yang satu sama lainnya saling
membutuhkan dalam penegakkan amar ma'ruf nahi mungkar.
1.Niat Ikhlas
Syaikhul Islam Ahmad
bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Maka pertama sekali,
hendaklah seseorang menjadikan urusannya karena Allah dan tujuannya adalah
menta’ati Allah pada apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dan mencintai
kemaslahatan manusia atau menegakkan hujjah terhadap mereka. Apabila ia
mengerjakan perbuatan yang disebutkan di atas karena ingin mencari kedudukan
untuk dirinya dan golongannya serta merendahkan orang lain, maka perbuatan itu
menjadi hamiyah (fanatik golongan atau hizbiyyah) yang tidak diterima
Allah.
Begitu juga kalau dia
mengerjakanya karena mencari sum’ah (reputasi / ingin didengar orang) dan riya’
(disimulasi / ingin dilihat orang), maka perbuatan itu akan menjadi sia-sia.
Kemudian apabila perbuatannya itu dibantah atau dirinya disakiti atau dikatakan
terhadap dirinya, bahwa dia itu adalah orang yang salah dan tujuannya salah,
maka dia mencari pertolongan (pendukung) untuk memenangkan dirinya sendiri,
sehingga syaitan pun mendatanginya.[Minhaajus Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah
Muhammad Elvi Syam]
2.Ilmu Syariat
Ilmu syariat sangatlah
diperlukan dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar. Darimana seseorang tahu apa-apa
kebaikan yang harus ia perintahkan dan mana saja keburukan yang harus ia cegah
darinya bilamana ia sendiri tidak mengetahui yang mana yang ma'ruf dan yang
mana yang mungkar. Perlu diketahui bahwa "Apa-apa yang menurut kita baik,
belum tentu itu baik dan apa-apa yang menurut kita tidak baik, belum tentu itu
keburukan, semua kebaikan dan semua keburukan telah disebutkan tanpa ada celah
tertinggal di dalam syariat Islam yang sempurna ini".Orang-orang yang
hanya berpegang atau mengedepankan akalnya saja dalam menghukumi suatu
perbuatan itu baik atau tidak baik, jelas akan lebih banyak salah dan sesat
dari jalan kebenaran itu sendiri. Wahyu berupa Al Quran dan As Sunnah harus
menjadi imam dari akal, bukan sebaliknya.
Mengedepankan akal
dalam agama ibarat seseorang yang berjalan di tengah hutan belantara yang luas
dengan berbekal lilin. Ia akan berputar-putar, tersandung, bahkan bisa jadi
lilin yang menjadi penerangnya tersebut mati tertiup angin atau dikarenakan
lain hal. Sedangkan apabila wahyu yang menjadi imam dari akal, maka wahyu
tersebut ibarat bintang yang terang benderang di kegelapan malam yang menembus
dedaunan, seseorang di dalam hutan dengan berbekal lilin tidak akan tersesat
bila mengambilnya sebagai penunjuk arah. Lilin ia gunakan untuk melihat
sekitarnya agar terhindar dari lubang atau akar yang melintang, dan bintang ia
jadikan sebagai penunjuk jalan kemana ia harus melangkah.
3.Kelembutan dan Kesabaran
Syaikhul Islam Ahmad
bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Berlemah-lembut di waktu menyuruh,
serta bijaksana setelah menyuruh. Kalau seandainya ia bukan seorang yang ‘alim,
maka ia tidak boleh mengikuti apa yang tidak ia ketahui. Kalau seandainya ia
seorang yang ‘alim (berilmu), tetapi tidak berlemah-lembut, maka bagaikan
seorang dokter yang tidak mempunyai sikap lemah-lembut, lantas bersikap kasar
terhadap pesien, akibatnya pasien pun tidak menerimanya. Dan seperti seorang
pendidik yang kasar, maka anak pun tidak bisa menerimanya". [Minhaajus
Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]
Keberhasilan suatu
dakwah memerlukan kesabaran dalam melakukannya. Allah Ta'ala berfirman: "Dan
sesungguhnya orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya bagi
yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan
keteguhan hati." [QS. As-Syura: 43].
Dari Aisyah radhiallahu
'anha pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya sikap lemah-lembut itu tidak menetap dalam sesuatu perkara,
melainkan ia makin memperindah hiasan baginya dan tidak dicabut dari sesuatu
perkara, melainkan membuat cela padanya." (Riwayat Muslim) .
Dari Jarir bin Abdullah
radhiallahu 'anhuma., katanya: "Saya mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah
lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan." (Riwayat
Muslim).[28]
[4]KhaizaturRafiah,http://makalahmakalahkuliah.blogspot.com/2010/06/ufiqh_5840.html, tanggal 7 November 2012, Pukul: 20:34.
[5] Lihat tafsir Al
Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405.
[6] Asy-Syaukaniy,
Fathul Qadir, 1/453.
[7] Ibnu Hazm, Al-Fashl
Fil Milal Wan Nihal, 5/19.
[8] Al-Jashash, Ahkamul
Qur'an , 2/486.
[9] An-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, 2/22.
[10] Asy-Syaukaniy,
Fathul Qadir, 1/450.
[11]Dr. Hamd bin
Nashir Al-Amaar, Hakikat Al-Amr Bil Ma'ruf wan-Nahi ‘Anil Mungkar, h.40-51dengan
perubahan.
[12] Al Jashash, Ahkamul
Qur'an, 2/29.
[13] Al Qurthubiy, Tafsir
Al-Qurthubiy, 4/165.
[14] Ibnu Qudamah, Mukhtashor
Minhajul Qashidiin, h.156.
[15] An Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, 2/23.
[16] Ibnu Taimiyah,
Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar , h.37.
[17] Asy Syathibiy,
Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy Syari'at, 1/126.
[18] Asy Syaukaiy, Fathul
Qadir, 1/450.
[19] Al Jashash, Ahkamul, 2/29.
[20] Ibnu Qudamah, Mukhtashar, h. 156.
[21] As Sa'diy, Tafsir
Karimir Rahman, 3/315, lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, h.
43.
[22] Al Qurthubi, Tafsir,
4/165.
[23] Ibnu Taimiyah,
Al Amr, h.37.
[24] Al Mawardi, Al
Ahkam Sulthaniyah, h.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
h.50.
[25] An Nawawiy, Syarah,
2/23.
[26] Ibid,
2/3.
[27]
Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du'at, h. 16.
PEDOMAN HIDUP AL-QUR'AN N AL-HADITS....
No comments:
Post a Comment