BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian Tabi’in
Tabi’in adalah:
التابعي من من الصحابة فأكثر لقي واحدا
“ orang yang bertemu
dengan seseorang sahabat atau
lebih”
Sebagian ulama berpendapat, bahwa mengenai tabi’in ini tidaklah hanya
bertemu saja, akan tetapi harus pernah menerima pelajaran dari sahabat. Namun
demikian kebanyakan ahli hadits memandang tabi’in adalah setiap orang yang
menjumpai seseorang sahabat walaupun tidak turut menyertainya. Dan mereka
memandang tabi’in adalah orang yang pernah melihat sahabat tanpa harus
menyertainya.
Ibnu Hibban menjelaskan bahwa yang di sebut tabi’in, ialah orang yang
melihat shahabi dalam umur yang sudah dapat menerima hadits dan bisa untuk
menyampaikannya,(sudah mumayyiz).
Menurut pendapat al-‘Iraqi, pendapat Ibnu Hibban ini ada orang yang
membenarkannya.
Nabi pernah mengisyaratkan tentang hal sahabat dan tabi’in dengan sabdanya:
طوبى لمن رانى و ا من بى
“ Berbahagialah orang yang melihat aku dan beriman kepadaku”.(H.R Ath Thabrani dan Al hakim dari Abdullah ibn Busr).
Sedangkan dalam kitab Mahmud At-thahan, pengertian tabi’in adalah:
التابعون menurut bahasa adalah تابعي atau تابع (yang berarti
pengikut), dan التابع isim fa’il dari “تبعه” yang artinya berjalan di belakangnya.
Sedang menurut istilah adalah orang yang bertemu sahabat dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Dan dikatakan pula التابع orang yang menemani sahabat.[1]
Al-Quran telah memberikan isyarat tentang adanya tabi’in
dalam firman Allah SWT:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar. (QS. At-
Taubah : 100)
Firman Allah SWT ”Dan orang-orang yang mengikuti mereka” merupakan isyarat yang jelas akan keberadaan tabi’in. Merujuk penamaan ini, tabi’in adalah semua orang yang pernah bertemu dengan sahabat, baik murid, kawan dari berbagai penjuru dunia yang datang ingin mendengar fatwa, menghimpun ucapan, perbuatan, dan mengetahui segala keputusan mereka dalam berbagai permasalahan yang diperdebatkan, mereka menjadi lembaran hidup bagi setiap ucapan dan perbuatan sahabat.
Al Quran telah mengabadikan kedudukan dan keagungan para tabi’in dalam ayat di atas di mana Allah menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in. Tabi’in dibagi ke dalam 3 bagian:
1. Kibar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang mengambil ilmu dan meriwayatkan
hadis dari kibar as-Sahabah, sebagian mereka lahir ketika Nabi Muhammad
SAW. hidup akan tetapi mereka tidak melihatnya.
2. Mutawassit at-Tabi’in
Yaitu mereka yang semasa dengan kibar at-tabi’in,
mereka meriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.
3. Sigar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang mengambil periwayatan dari sigar
as-sahabah dan kebanyakan terhadap tabi’in terdahulu.[2]
Para tabi’in ini tersebar di berbagai
daerah islam, dan yang paling pertama wafat dari tabi’in adalah Abu Zaid
mu’amar bin Yazid pada tahun 35 H, dan yang tearkhir wafat adalah Khalaf bin
Khalifah yang meninggal pada tahun 181 H.[3]
II. Jumlah dan Tingkatan Tabi’in.
Para Tabi’in tidak dapat di hitung jumlahnya, karena setiap mereka yang dapat melihat shahabi di pandang tabi’in dan Rasulullah SAW wafat dengan meninggalkan 100.000 lebih dari para shahabat yang kemudian mengunjungi keberbagai kota dan tersebar keseluruh daerah. Mereka dapat dilihat, oleh beribu-ribu tabi’in.
1. Tingkatan Tabi’in
Al hakim An Naisaburi membagi tabi’in menjadi 15 thabaqat. Thabaqat
terakhir ialah tabi’in yang bertemu dengan Anas Ibn Malik dari penduduk
Bashrah. Mereka yang bertemu dengan Abdullah Ibn Abi Aufa dari penduduk Kufah.
Mereka yang bertemu dengan as Sa-ib Ibn Yazid dari penduduk Madinah. Mereka
yang bertemu dengan Abdullah Ibn Harits dari penduduk Mesir, dan mereka yang
bertemu dengan Abu Humamah al Bajli dari penduduk Syam.
Para ahli hadits berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang paling utama dari tabi’in.
Menurut ulama Madinah, yang paling utama dari tabi’in adalah Said Ibn
Musaiyab (15 H – 94 H).
Menurut pendapat ulama Kufah yang paling utama adalah Alqamah
Ibn Qaid an Nakhai (28 s.H- 62 H) Dan al Aswad Ibn Yazid an Nakhai (75 H). Sebagian mereka mengatakan : Quwais Ibn Qarni az Zahid (37 H).
Menurut pendapat ulama Bashrah, ialah al Hasan al Bashri (21 H- 110 H) sedangkan menurut ulama makkah Atha’ Ibn Abi Rabah. Semua mereka adalah orang- orang yang mempunyai keutamaan dan pengetahuan.
Di antara tokoh- tokoh wanita dari kalangan tabi’in adalah : Hafsah binti Sirien, wafat sesudah tahun 1 H. Amrah binti Abdurrahman (21 H – 98 H). Ummu Darda ash Shugra ad Dimasyqiyah (81 H). Di antara tokoh- tokoh tabi’in, ialah fuqaha’ tujuh di madinah yaitu : Sa’id Ibn Musayyab (15 H – 64 H) Al Qasim Ibn Muhammad Ibn Abu Bakar ash Shiddiq (37 H – 170 H). Urwah bin zubair ( 22 H – 94 H) Kharijah ibn zaid ibn tsabit(29 H–99 H) Sulaiman Ibn Yasar (34 H – 107 H) Ubaidullah bin Abdullah Ibn Utbah Ibn Mas’ud al Hudzali (98 H). abu salamah Ibn Abdurrahman Ibn Auf ( 94 H) ada yang mengatakan, Salim Ibn Abdullah Ibn Umar( 106 H) dan ada yang mengatakan abu Bakar Ibn Abdurrahman ibn Harits Ibn Hisyam al Mahzumi ( 94 H)
2. Kelompok al-Muhadramain.
Di antara Tabi’in ada yang menemui zaman jahiliyah dan zaman Nabi serta memasuki, tetapi tidak dapat melihat Nabi, maka golongan ini di sebut dengan al-Muhadramain. Di antara kelompok al- Muhadramain ialah: Busyair ibn ‘Amer.
Dinamakan Muhadramain ini, karena setiap mereka yang lahir di masa Nabi, akan tetapi tidak dapat meriwayatkan hadits dari padanya, karena tidak pernah mendengarnya dari Nabi, yaitu seperti Abdullah ibn Abi Talhah, Abu Umamah, As’ad ibn sahal ibn Hunaif dan Abu idris Al Khaulaini. Segolongan ulama menjadikan golongan ini thabaqat yang kedua dari thabaqat tabi’in.
Perlu juga diketahui dalam hal ini telah terjadi kesilapan bagi sebagian ulama. Ada di antara ulama memasukkan beberapa shahabat kecil kedalam golongan thabi’in, seperti An Nu’man Ibn Muqri’ al Muzani Dan saudaranya Suaid Ibn Muqri kudua-duanya ini termasuk shahabi. Al hakim memasukkannya kedalam golongan tabi’in seperti Yusuf Ibnu Abdullah Ibn Sallam dan Muhammad Ibn Labid, kedua-duanya ini termasuk shahabat kecil. Muslim memasukkannya kedalam Tabi’in. Ada juga ulama yang memasukkan beberapa tabi’in kedalam golongan shahabat, seperti AbdurRahman ibn Ghunmim al Asy’ari. Beliau telah di masukkan kedalam golongan shahabat oleh Muhammad Ibn Rabi’ Al jizi.
Dan mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang siapakah Tabi'in
terbaik? Maka yang masyhur adalah Sa'id bin al-Musayyib, hal ini dikatakan oleh
Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Penduduk Bashrah berkata,"
Ia (Tabi'in terbaik) adalah al-Hasan. Penduduk Kufah berkata," Ia (Tabi'in
terbaik) adalah 'Alqamah. Dan sebagian mereka berkata," Ia (Tabi'in
terbaik) adalah Uwais al-Qarni. Penduduk Mekah berkata," Ia (Tabi'in
terbaik) adalah 'Atha bin Abi Rabah."
Dan pemuka wanita dari para Tabi'in adalah" Hafshah bintu Sirin, 'Amrah bintu 'Abdurrahman, dan Ummu ad-Darda ash-Shugra radhiyallahu 'anhum ajma'in."
Dan di antara pemuka para Tabi'in adalah al-Fuqahaa' as-Sab'ah (tujuh Ahli Fikih) di Hijaz, mereka adalah Sa'id bin al-Musayyib, al-Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, 'Urwah bin az-Zubair, Sulaiman bin Yasaar, 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin 'Utbah (bin Mas'ud), dan yang ketujuh yaitu Salim bin 'Abdullah bin 'Umar. Ada yang mengatakan yang ketujuh adalah Abu Salamah bin 'Abdurrahman bin 'Auf, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah Abu Bakr bin 'Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam."[4]
III. Biografi Beberapa Tabi’in
a. Penduduk Madinah
1. Sa’id bin Musayyab
Sa’id bin musayyab mempunyai nama lengkap Abu Muhammad Sa’id bin al-Musayyab bin Huzni al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani. Bapak dan kakeknya merupakan sahabat Rasulullah yang masuk islam pada hari pembebasan kota Mekkah. Beliau dilahirkan dua tahun sesudah kekhalifahan Umar, ketika ia dewasa ia tekun mempelajari pemikiran Umar bin Khattab. Beliau adalah orang yang paling hafal terhadap keputusan atau ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum Umar hingga beliau disebut perawi umar dan dia juga hafal Musnad dari Abu Hurairah, karena ia menikahi putrinya abu hurairah, dia juga meriwayatkan hadis dari Utsman, Ali, Sa’ad bin waqas, dan sahabat terkemuka lainnya. Beliau termasuk pembesar tabi’in dalam bidang fikih, agama, ibadah, dan lain dan sebagainya hingga dia di juluki Faqihul Fuqaha (ahli fikih di kalangan ulama fikih).
Beliau juga di sebut pemberani karena keberaniannya berfatwa dengan keluasan ilmu dan hafalannya. Abdul malik bin marwan pernah menetapkan beliau untuk membaiat putra mahkota pada waktu itu, yaitu al-walid dan sulaiman akan tetapi beliau tidak bersedia dan berkata: “Rasululluah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang tentang baiat, lalu Abdul malik menyuruh agar dia dicambuk dan diarak dengan memutari pasar-pasar Madinah kemudian beliau disodorkan pedagang akan tetapi beliau tetap dengan pendiriannya dalam ketidakmauannya membaiat. Beliau adalah orang yang paling mengetahui ta’bir mimpi dan paling mengetahui nasab silsilah Quraisy, ia juga memberikan fatwa padahal pada waktu itu para sahabat masih banyak. Beliau mengetahui berita-berita tentang kaum jahiliyah dan Islam, kesungguhannya dalam ijtihad, ibadah, amar ma’ruf, kemuliaannya dalam pandangan para pemimpin dan pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Beliau wafat pada tahun 94 Hijriah, pada masa khalifah al-Walid. Pada tahun ini disebut juga tahun fuqaha karena pada tahun ini banyak para ahli fikih yang wafat.[5]
2. Nafi’ Maula Abdullah bin Umar bin Khattab
Nafi’ Maula Abdullah bin Umar bun Khattab termasuk Ahli Fikih dan Hadis terkemuka di Madinah, beliau mempelajari agama dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Ummu Salamah dan lainnya. Diantara murid-muridnya Salih bin Kisan, az-Zuhri, al-Awza’I, Malik bin Anas. Beliau adalah salah seorang ahli fikih Madinah sehingga Umar bin Abdul Aziz mengutusnya ke Mesir untuk mengajarkan Sunnah pada penduduknya.. Nafi mendapatkan kehormatan yang besar dan kedudukan yang tinggi disisi Ibnu Umar. Ia melayani Abdullah bin Umar selama 30 tahun. Nafi’ berasal dari Dailami dan meninggal pada tahun 117 H.[6]
b. Penduduk Kuffah
3. Al-Qamah bin Qais an-Nakha’i
Nama lengkap beliau adalah Al-Qamah bin Qais bin Malik An-Nakha’I Al-Kufi, beliau lahir semasa hidup Rasulullah SAW. dan banyak meriwayatkan hadis yang bersumber dari Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Mas’ud karenanya beliau disebut Al-Qamah Ar-Rawi lantaran banyak hadis yang diriwayatkan darinya.
Adz-Dzahabi berkata: Al-qamah adalah ahli fikih,
pemimpin, pintar, bagus suaranya dalam membaca al-Qur’an, menyerupai Ibnu
Mas’ud dalam petunjuk, keluasan ilmu dan keutamaannya. Beliau wafat pada tahun
61 H namun ada juga yang mengatakan pada tahun 62 H.
4. Ibrahim an-Nakah’i
Nama lengkap beliau adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais
An-Nakha’i al-kufi al-Faqih. Seorang ahli fikih Irak, ia meriwayatkan hadis
dari Al-Qamah, Masruq, Asward dan lain-lainnya. Beliau adalah Guru Hamid
bin Abi Sulaiman, gurunya Abu Hanifah. Beliau wafat di kediaman Al-Hajaj bin
Yusuf pada tahun 96 H dalam usia 49 tahun.[7]
c. Penduduk Basrah
5. Hasan al-Basri
Beliau adalah Abi Hasan Yasar Maula Zaid bin Tsabit, dilahirkan dua tahun terakhir dari pemerintah Umar. Beliau dibesarkan di Madinah dan Hafal al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman, setelah besar ia terus berjuang mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Beliau salah seorang alim yang tinggi derajat, terpercaya, ahli hujah, ahli ibadah, tinggi ilmunya, fasih, tampan dan nyata, dalam kebaikan. Beliau meninggal tahun 110 H.[8]
IV. Kelebihan Hadits pada Masa Tabi’in
1.
Berdirinya Pusat-pusat Pembinaan hadis
Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-Munawarrah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan. Beberapa orang yang meriwatyatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah,Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jaabir Ibn Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena di sinilah Rasul SAW menetap setelah Hijrah. Di sini pula Rasul membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku dan kabilah. Di antara para sahabat yang membina hadis di Makkah yaitu, Mu’adz ibn Jabal, ‘Atab ibn Asid, Haris ibn Hisyam, Ustman ibn Thalhah dan ‘Utbah ibn Al-Haris. Di antara para Tabi’in yaitu, Mujtahid ibn Jabbar,Atha’ ibn Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan dan Ikrimah maulana ibn Abbas.
Di antara para sahabat yang membina hadis di Kufah yaitu, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Di antara para tabi’in yaitu, Al-Rabi’ ibn Qosim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i dan Abu Ishaq Al-Sa’bi. Di antara sahabat yang membina hadis di Basrah yaitu, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas,’Imran ibn Husain, Ma’qal ibn Yasar, Abdurrahman ibn Samrah dan Abu Sa’id Al-Anshari. Di antara para Tabi’in yaitu, Hasan Al-Bishri, Muhammad ibn Sirrin,Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibn ‘Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun, Kahatadah ibn Du’amah Al-Sudusi dan Hisyam ibn Hasan.
Di antara para sahabat yang membina hadis di Syam yaitu, Abu Ubaidah Al-Jarrah, Bilal ibn Rabbah, Ubadah ibn Shamid, Mu’adz ibn Jabal, Sa’ad ibn Ubaidah, Abu Darda’ Surahbil ibn Hasanah, Khalid ibn Walid dan Iyad ibn Ghanam. Di antara para tabi’in yaitu Salim ibn Abdillah al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani dan Umar ibn Hana’i. Para sahabat yang membina di Mesir yaitu, Amr ibn Al-‘Ash, Uqbal ibn Amr, Kharisah ibn Huzafah dan Abdullah ibn Al-Haris. Para tabi;in diantaranya Amr ibn Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-Hadrami,Yazid ibn Abi Habib, Abdullah ibn Abi Jafar dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil.
Di Maghribi dan Andalus yaitu, Mas’ud ibn Al-Aswad Al-Balwi, Bilal ibn Haris ibn ‘Ashim Al-Muzani, Salamah ibn Al-Akwa dan Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Muid. Para tabi’in yaitu, Ziyad ibn An’am Al-Mu’arif, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Abi Mansyur, Al-Mughirah ibn Abi Burdah, Rifa’af ibn Rafi’ dan Muslim ibn Yasar. Para sahabat yang terjun di Yaman yaitu, Mu’adz ibn Jabal,dan Abu Musa Al-As’ari. Para Tabi’in diantaranya yaitu, Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid. Sedang para tabi’in yaitu, Muhammad ibn Ziyad, Muhammad ibn Tsabit Al-Anshari dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.[9]
2. Upaya Menulis dan Pengkodifikasian Hadits yang Dilakukan Pada Masa Tabi’in
Upaya yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhry mendapat respon positif dari para ulama yang lain, baik yang satu generasi maupun generasi sesudahnya. Mereka bekerja keras melakukan kodifikasi Hadis di daerah yang berbeda-beda. Diantara para ulama tersebut adalah:
1. Abu Hurairah (19 SH-59 H). Menurut Baqi, ia meriwayatkan 5.374
hadis. Namun menurut penyelidikan terbaru diketahui bahwa Abu Hurairah hanya
meriwayatkan Hadis sebanyak 1.236 buah.
2. Abdullah ibn Umar (10 SH-74 H). Menurut Baqi’, ia meriwayatkan Hadis
sebanyak 2.630 buah. Menurut sebuah laporan otentik disebutkan bahwa ia
menyimpan koleksi hadis.[8]
3. Anas ibn Malik (10 SH-93 H), seorang pelayan Nabi SAW selama 10
tahun. Ia meriwayatkan 2.286 hadis.
4. Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq (w. 58 H), meriwayatkan 2.210
Hadis.
5. Abdullah ibn Abbas (3 SH-68 H), meriwayatkan 1.660 hadis.
6. Jabi’ ibn Abdullah (16 SH-78 H), meriwayatkan 1.540 hadis.
7. Abu Said al-Khudri (w. 74 H), meriwayatkan 1.170 hadis.
Selain ulama-ulama di atas, juga masih banyak ulama di kota-kota arab yang juga berperan dalam pengkodifikasian Hadis, yaitu;
1. Ibn Juraij (80-150 H), sebagai pelopor kodifikasi hadis di kota
Makkah.
2. Muhammad ibn Islaq (w. 151 H), Ibn Abi Dzi’ bin (81- 15 H),
serta Malik Ibn Anas (93-179 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota
Madinah.
3. Al-Rabi’ ibn Shahih (w. 160 H) Hammad ibn Salmah (w. 176 H), dan
Sa’id ibn Abi Arubah (w. 156 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota
Basrah.
4. Sufyan al-Tsaury (97-161 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di
kota Kufah.
5. Al-Auza‘iy (88-157 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota
Syam.
6. Ma’mar ibn Rasyid (93-153 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis
di kota Yaman.
7. Ibn Mubarak (118-181 H) sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota
Khurasan.
8. Abdullah ibn Wahhab (125-197 H), sebagai pelopor kodifikasi
Hadis di kota Mesir.
9. Jarir ibn abd al-Hamid (110- 188 H), merupakan seorang pelopor
kodifikasi Hadis Roy.
Para ulama yang disebutkan di atas merupakan tokoh-tokoh kodifikasi Hadis yang cukup terkenal dalam sejarah pembukuan Hadis. Sayangnya hasil karya mereka tidak seluruhnya sampai pada generasi sekaranag. Namun demikian ada beberapa kisah Hadis hasil kodifikasi yang termasyur dan mendapat perhatian besar dari para ulama pada umumnya. kitab-kitab tersebut adalah;
a. Al-Muwatha’ yang disusun oleh Imam Malik (93-179 H).
b. AL-Magbazi wa al-Siyar (al-Sirab al-Nabawiyah), yang disusun
oleh Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H).
c. Al-fami’ yang disusun oleh Abdur Razzaq al-Shari’ani (w. 211 H).
d. Al-Musbannaf yang disusun oleh Syu’ban ibn Hajjaj (w. 160 H).
e. Al-Musbannaf yang disusun oleh Syu’ban ibn ‘Uyainah (w. 198 H).
f. Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H).
g. Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Auza’iy (88-157 H).
h. Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Hamidy (w. 219 H).
i. Al-Magbazi al-Nabawiyah, yang disusun oleh Muhammad ibn Waqid
al-Aslamy (w. 130- 207 H).
j. Al-Musnad, yang disususn oleh Abu Hanifah (w. 150 H).
k. Al-Musnad, yang disususn oleh Zaid ibn Ali.
l. Al-Musnad, yang disususn oleh Ahmad Imam Ahmad (164-241 H).
m. Mukhtalif al-Hadis disususn oleh Imam al-Syafi’ (w. 204 H).
Dari beberapa kitab Hadis hasil kodifikasi para ulama tersebut yang mendapat perhatian paling besar dari para ulama dari masa ke masa ada empat, yaitu: al-Muwatha’, al-Musnad karya Imam al-Syafi’i, Mukbtalif al-Hadis, dan al-Sirab al-Nabawiyah (al-Magbazi wa al-Siyar). “adapun kitab al-Muwatha’ yang ditulis oleh Malik ibn Anas (93-179 H), dinilai oleh para ulama sebagai kitab kodifikasi Hadis yang pertama dan yang dapat diwarisi hingga sekarang. Kitab ini memuat 1.726 riwayat yang bersumber dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. Kodifikasi pada masa ini secara umum belum dilakukan secara selektif. Kitab-kitab mereka tidak hanya menghimpun apa yang datang dari Nabi SAW saja, tetapi jugu farwa-farwa tabi’in. Karena itu, di dalam kitab-kitab tersebut terdapat Hadis marfu’. Hadis mawaquf, dan Hadis maqtbu.
Hal ini pada akhirnya menuntut para ulama untuk melakukan penyeleksian terhadap kitab- kitab Hadis yang ada. Upaya ini dilakukan oleh para ulama sekitar akhir abad ke-2 H. Atau awal abad ke-H. Hadis-hadis dalam kitab tersebut kemudian dikoreksi, dipilih berdasarkan kaidah yang ditetapkanulama pada masa ini. Mereka bekerja keras mengadakan penyaringan Hadis, sehingga berhasi memisahkan Hadis yang dha’if dari yang shahih dan Hadis-hadis yang mawaquf serta maqthu’ dari yang marfu’, hasil nyata dari upaya tersebut adalah lahirnya kitab-kitab Hadis induk yang enam (al-Kutub al-Sittah). Kitab-kiab ini dianggab berkualitas standar karena telah memuat hampir seluruh Hadis Nabi SAW yang shahih, memuat hampir seluruh masalah terkandung dalam Hadis Nabi SAW, serta dipandang sebagai kitab-kitab yang paling baik susunan, isi, dan kualitas diantara kitab Hadis yang lain. Keenam kitab tersebut adalah: Al-Jami’ al-Shahih karya al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih karya muslim, Al-Sunan karya Abu Dawud, Al-Sunan karya al-Turmdzi, Al-Sunan karya al-Nasa’i, Al-Sunan karya Ibn Majah[10]
Ada ulama’ ahli Hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik ibn Anas(93-179 H) di Madinah dengan karyanya Al-Muwaththa’. Para tadwin yang lain ialah, Muhammad ibn Ishaq(w.151), ibn Abi Zi’bin(80-158) di Madinah, ibn Juraij(80-150) di Makkah, Al-Rabi’ ibn Sabih(w.160 H), Hammad ibn Salamah(w.176 H)di Bashra, Sufyan Al-Tsauri(97-161 H) di Kufah, Al-Auza’i(988-157 H) di Syam, Ma’mar ibn Rasyid(93-153 H) di Yaman, ibn Al-Mubarak(118-18 H) di Khurasan, Abdullah ibn Al-Wahab(125-197 H) di Mesir, dan Jarir ibn Abd Al-Hamid(110-188 H) di Rei.[11]
V. Kritik Hadits Pada Masa Tabi’in
Ketika permulaan masa tabi’in, geliat kritik hadits semakin besar. Hal ini disebabkan munculnya fitnah yang menyebabkan perpecahan internal umat Islam. Kondisi ini diperparah dengan merajalelanya para pemalsu hadits untuk mendukung golongan tertentu. Iklim yang tidak sehat ini menuntut para kritikus hadits agar lebih gencar dalam meneliti keadaan para perawi. Mereka lalu melakukan perjalanan untuk mengumpulkan sejumlah riwayat, menyeleksi dan membandingkannya, hingga akhirnya mampu memberikan penilaian atas setiap hadits.
Metode kritik hadits terus berkembang pesat, ditandai dengan lahirnya beberapa karya ulama tentang kritik sanad hadits. Kritikan tersebut ditulis dalam kitab tersendiri dan memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Hal ini dilakukan agar penilaan atas hadits benar-benar objektif, sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifati’l Rijâl, atau Musnad al-Mu’allal” karya Ya’qub bin Syaibah.[12]
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang-orang non muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk meruntuhkan Islam.
Munculnya pemalsuan hadis kemudian menuntut para ulama
yang hidup pada masa tabi’in dan sesudahnya untuk lebih bersikap ekstra
ketat dalam melakukan penelitian hadis. Hal tersebut antara lain dapat
dibuktikan dengan semakin ramainya aktivitas perjalanan ilmiah ke berbagai
pelosok daerah yang bermaksud mempelajari hadis Rasulullah Saw.
Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif dalam merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadis, Hal tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis yang terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadis.
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadis pada abad ke II dan ke III antara lain adalah sebagaimana ungkapan Malik dalam kutipan Umi Sumbulah berikut:
a.
Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang selalu memperturutkan ambisi
pribadinya (hawa nafsu).
b.
Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohonnya
itu ia kemudian membuat kebohongan atas nama Rasulullah.
c.
Tidak meriwayatkan hadis dari seseorang yang sebenarnya baik amal
ibadahnya, namun hadis yang diriwayatkannya itu tidak dikenal (umum).
Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (abad
ke-II dan ke-III) telah mencakup kepada penelitian sanad dan matan
hadis. Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke seluruh pelosok
negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan,
Bukhara, Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya.[13]
Selanjutnya berkat kegiatan kritik (baca: penelitian) hadis tersebut bermunculanlah di berbagai negeri ini para peneliti hadis sepanjang masa. Mereka senantiasa mengorbankan waktu hanya untuk membersihkan hadis-hadis dari kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas penelitian hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang ditandai dengan lahirnya karya-karya besar ulama mengenai hadits ditinjau dari segala aspeknya. Sehingga sampai saat ini karya-karya fenomenal itulah yang menjadi referensi utama dalam menilai sebuah hadits.
Selanjutnya dilihat dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian hadis, pada awalnya metode penelitian hadis tersebut hanya ditulis di pinggiran buku-buku hadits seperti terdapat pada kitab Musnad, Jawami’, Sunan dan lainnya. Ulama yang mencoba memberikan komentar atau kritik terhadap beberapa hadits, hanya meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis.
Kemudian cara yang pertama ini dirasakan kurang efektif dan tidak cukup luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga para ulama hadits kemudian berinisiatif menuliskan komentar-komentar mereka dalam satu kitab tersendiri, yang memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi agar penilaan atas hadits benar-benar objektif. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifatil Rijâl, atau Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Tabi’in adalah:
التابعي من من الصحابة فأكثر لقي واحدا
“ orang yang bertemu
dengan seseorang sahabat atau
lebih”
Sebagian ulama berpendapat, bahwa mengenai tabi’in ini tidaklah hanya bertemu
saja, akan tetapi harus pernah menerima pelajaran dari sahabat. Namun demikian
kebanyakan ahli hadits memandang tabi’in adalah setiap orang yang menjumpai
seseorang sahabat walaupun tidak turut menyertainya. Dan mereka memandang
tabi’in adalah orang yang pernah melihat sahabat tanpa harus
menyertainya.
Ibnu Hibban menjelaskan bahwa yang di sebut tabi’in, ialah orang yang melihat shahabi dalam umur yang sudah dapat menerima hadits dan bisa untuk menyampaikannya,(sudah mumayyiz.
Menurut pendapat al-‘Iraqi, pendapat Ibnu Hibban ini ada orang yang membenarkannya.
Nabi pernah mengisyaratkan tentang hal sahabat dan tabi’in dengan sabdanya:
طوبى لمن رانى و ا من بى
“ Berbahagialah orang yang melihat aku dan beriman kepadaku”.(H.R Ath Thabrani
dan Al hakim dari Abdullah ibn Busr).
Tabi’in dibagi ke dalam 3 bagian:
1. Kibar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang mengambil ilmu dan meriwayatkan
hadis dari kibar as-Sahabah, sebagian mereka lahir ketika Nabi Muhammad
SAW. hidup akan tetapi mereka tidak melihatnya.
2. Mutawassit at-Tabi’in
Yaitu mereka yang semasa dengan kibar at-tabi’in,
mereka meriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.
3. Sigar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang mengambil periwayatan dari sigar
as-sahabah dan kebanyakan terhadap tabi’in terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
At-thahan, Mahmud, Taisir mustolahul hadist
Zuhaili, Muhammad, Marja’ al-Ulum al-Islam, Cet II, Damaskus: Dar
al-Makrifah, 2005.
Katsir, Ibnu al-Bidayah wa an-Nihayah, Cet I, Damaskus: Dar Ibnu
Katsir, 2007.
Syakir, Ahmad, al-Ba’itsu
al-Hadits Syaroha Ikhtisori ‘Ulumul Hadits.
Al-Barbari, As-Subki as-Says, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Damaskus:
Dar al-Asama’.
Al-Khathib, Ajjaj Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin.
Azami, Muhammad Mustafa’, Metodologi Kritik Hadis, terj. A.
Yamin , Jakarta: Pustaka Hidayah, 1996.
Al- Siba’i, Musthafa , Al-Sunnah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’Al-Islami, Kairo:
Dar Al-Salam, 1988.
Fathurrahman, Mustalahul Hadits, Bandung: Al Ma’arif, 1972.
Sya’rani, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Al-Umri, Muhammad Ali Qasim
, Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsîn, Yordan: Dar An-Nafais,
2000.
[1] Mahmud At-thahan, Taisir mustolahul hadist h. 166.
[2] Dr. Muhammad Zuhaili, Marja’
al-Ulum al-Islam (Cet II, Damaskus: Dar al-Makrifah, 2005), h. 87-89.
[4] Syaikh Ahmad
Syakir, al-Ba’itsu al-Hadits Syaroha Ikhtisori ‘Ulumul Hadits, h. 184.
[10] Muhammad Mustafa’ Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A.
Yamin (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1996), h. 50-53.
[11] Dr. Musthafa Al-
Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Salam,
1988), Cet.Ke-1,h. 104.
[14] Muhammad Ali Qasim
al-Umri, Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsîn, (Yordan:
Dar An-Nafais, 2000), h.11-17.
No comments:
Post a Comment