BAB II
PEMBAHASAN
I. ALIRAN
MU’TAZILAH
1. Munculnya Golongan atau Kelompok Mu’tazilah
Secara harfiyah kata Mu’tazilah berasal
dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1] Kaum
Mu’tazilah adalah suatu kaum yang membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun
pada abad-abad permulaan Islam. Kaum Mu’tazilah telah pernah dalam sejarahnya
membunuh ribuan ulama’ Islam. Ada beberapa pendapat yang menerangkan apa
sebab-sebab maka kaum ini dinamai kaum Mu’tazilah, yaitu:
1. Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh
Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Diantara muridnya ada seorang yang
bernamaWashil bin ‘Atha’ (meninggal 131 H). Pada suatu hari Imam Hasan Bashri
menerangkan bahwa orang Islam yang telah iman pada Allah dan Rasul-Nya, tetapi
ia kebetulan mengerjakan dosabesar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim
yang durhaka. Di akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosa
besarnya, ia akan dimasukkan kedalam neraka buat sementara untuk menerima
hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi setelah ia menjalankan hukuman ia
dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan kedalam surga sebagai seorang
Mu’min dan Muslim. Washil bin ‘Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya itu,
lantas ia membentak, lalu keluar lain di suatu pojok dari Masjid Bashrah itu.[2] Oleh
karena itu makaWashil bin ‘Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah karena ia mengasingkan
diri dari gurunya. Dalam pengasingannya ini, ia diikuti oleh kawannya yaitu
Umar bin Ubaid (meninggal 145 H). Jadi dapat dikatakan secara bulat bawa
permulaan munculnya kaum Mu’tazilah pada permulaan abad ke II Hijriyah, dengan
guru besarnya Washil bin ‘Atha’ dan Umar bin Ubaid. Yang berkuasa ketika itu
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari Bani Umaiyah, yaitu dari tahun 100 H
sampai tahun 125 H.
2. Ada pula orang mengatakan bahwa sebabnya maka mereka
dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang
Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat
menyerahnya khalifah Hasan bin ‘Ali bin AbiThalib kepada khalifah Mu’awiyah
dari BaniUmaiyah. Mereka menyisihkan diri dari siasat (politik) dan hanya
mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh
Abdul Hasan Tharaifi, pengarang buku Ahlul Hawa wal Bida’, yang dikutip oleh
Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya yang bernama “As-Syafi’I”.[3]
Secara
teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan yaitu:
1. Golongan pertama tumbuh
sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara ‘Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah,
‘Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan ini merupakan golongan yang
mula-mula disebut kaum mu’tazilah. Karena mereka menjauhkan diri
dari pertikaian masalah khilafah.
2. Golongan kedua muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan
murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Perbedaan
pendapat tersebut mengakibatkan munculnya golongan yang memisahkan diri disebut
kaum mu’tazilah. Golongan mu’tazilah juga dikenal dengan
nama-nama lain seperti Al-Adl yang berarti golongan yang memperhatikan
keadilan tuhan, Al-Ahl Al-Tauhid wa Al-Adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan tuhan, dan Qadariyyah
yang mempunyai dua arti: yang pertama, kata Qadar dipergunakan
untuk menamakan orang yang mengakui Qadar dan yang kedua, kata
Qadar dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya.
2. Ajaran
yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada
beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu;
1. At-Tauhid
At-Tauhid ini merupakan prinsip dan intisari
ajaran Mu’tazilah. Tauhid menurut Mu’tazilah mempunyai
arti yang spesifik, Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi keesaannya.[4] Untuk
memurnikan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat dan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat
bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat,
Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan sebagainya, namun semuanya itu bukan sifat
melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Doktrin
tauhid Mu’tazilah tidak ada satupun yang menyamai Tuhan, begitu
pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Segala yang mengesankan
adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh
akal dan itu adalah mustahil. Mu’tazilah menolak antropomorfisme.[5] Penolakan
terhadap faham antropomorfistik bukan semata-mata atas
pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam
Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: “Tak
ada satupun yang menyamai-Nya.” (Q.S. Asy-Syura:9)
2. Al-Adl
Adil
merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Ajaran ini
bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia. Ajaran keadilan ini terkait erat dengan beberapa hal antara lain:
1. Perbuatan manusia
2. Berbuat baik dan terbaik
3. Mengutus Rasul
3. Al-Wa’d
wa Al-Wa’id
Ajaran
ini begitu erat hubungannya dengan ajran kedua diatas. Tuhan yang Maha Adil dan
Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terkait dan
dibatasi oleh janji-Nya sendiri. Yaitu memberi pahala surga bagi yang
berbuat baik dan ancaman neraka bagi yang berbuat durhaka. Begitu pula janji
yang memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha. Ajaran ini bertujuan
untuk mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah
bain Al-Manzilatain
Inilah
ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya madzhab Mu’tazilah. Pokok ajaran ini
adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum bertobat maka ia bukan
lagi mu’min atau kafir, tetapi fasik. Ajaran ini bertujuan agar manusia tidak
menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5. Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-nahyi An Munkar
` Ajaran kelima ini menyuruh kebajikan
dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan kepada kebenaran
dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan
seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya menyuruh oarng berbuat baik dan mencegah dari kejahatan. Perbedaan
madzhab Mu’tazilah dengan madzhab yang lain terletak pada tatanan pelaksanaan.
II.
ALIRAN ASY-‘ARIYAH
1. Awal
munculnya Aliran Asy’ariyah
Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali
bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206
H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu,
yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan
mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih
dan hadist.[6]
Ketika
berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan
hal tersebut. Pada hari jum’at dia naik mimbar dimasjid Bashrah secara resmi
dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazillah. Pernyataan tersebut
adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah
mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku mengenal diri sendiri.
Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, maka
perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku bertaubat,
bertaubat dan mencabut faham-faham Mu’tazillah dan keluar daripadanya.
Al-Asy’ari
menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai lapangan yang bisa dibaca
oleh orang banyak. Dia menolak pendapat Aristoteles, golongan
jahamiyah dan golongan murji’ah. Akan tetapi fokus kegiatan Al-Asy’ari adalah
ditujukan pada orang-orang Mu’tazilah seperti Ali Al-Jubai, Abul Hudzail dan
lain-lain.
Contoh
perdebatan antara Imam Al-asy’ary dengan Abu Ali Al-Jubai:[7]
1. Abu Hasan Al-Asy’ary bertanya: Bagaimana menurut
pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan, mukmin,
kafir dan anak kecil.
2. Al-Jubai: Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir
masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
3. Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin meningkat
masuk surga, artinya sesudah meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu
mungkin?
4. Al-Jubai: Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya
bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan Engkau (anak
kecil) belum beramal seperti itu.
5. Al-Asy’ari: Seandainya anak itu menjawab memang aku
tidak taat, seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat
seperti amalnya orang mukmin.
6. Allah menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau
sampai umur dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu
Aku menjaga kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum engkau mencapai umur dewasa.
7. Al-Asy’ari: seandainya si kafir itu bertanya: Engkau
telah mengetahui keadaanku sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa
engkau tidak menjaga kemashlahatanku, sepertinya? Maka Al-Jubai diam saja,
tidak meneruskan jawabannya .
2. Faham
Asy’ariyah
Faham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham
Mu’tazilah. Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat
diantaranya, mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun semua
ini dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan
batasnya).[8]
Aliran
Asy’ari mengatakan juga bahwa Allah dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata
kepala. Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu
yang mempunyai wujud, karena Allah mempunyai wujud ia dapat dilihat. Ayat-ayat
Al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil Asy’ariyah untuk menyakinkan pendapatnya
adalah:
1. QS.
Ar-Rum ayat 25:
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَن تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ۚ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ
دَعْوَةً مِّنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنتُمْ تَخْرُجُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia
memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari
kubur)”. (QS. Ar-Rum ayat 25)
2. QS
Yasiin ayat 82:
إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن
يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُون
Artinya : “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia”.
(QS Yasiin ayat 82).
3. QS
Al-A’raaf ayat 54:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ
النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ
مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ۗ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya : “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam”.(QS Al-A’raaf ayat
54).
4. QS
Al-Kahfi ayat 109:
قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًۭا لِّكَلِمَـٰتِ رَبِّى
لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا
بِمِثْلِهِۦ مَدَدًۭا
Artinya : “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum
habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula)”. (QS Al-Kahfi ayat 109).
5. QS
Al-Mukmin ayat 16:
Artinya : “(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari
kubur); tiada suatupun dari Keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu
Allah berfirman): “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?” kepunyaan Allah
yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. (QS Al-Mukmin ayat 16).
3.
Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Aliran
ini termasuk cepat berkembang dan mendapat dukungan luas dikalangan sebelum
meninggalnya pendiri Aliran Asy’ariyah itu sendiri yaitu Imam Abu Hasan Ali bin
Ismail Al-Asy’ari, yang wafat pada tahun 324 H/934 M. Sepeninggalnya Al-Asy’ari
sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya
Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal pikiran murni dari pada dalil nash.
4.
Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazillah
Penyebab
keluarnya Al-Asy’ari dari aliran mu’tazillah antara lain:
1. Pengakuan Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah SAW
sebanyak 3 kali, yakni pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam
mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazillah .
2. Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran
Mu’tazilah dalam soal–soal perdebatan yang telah ditulis diatas.
3. Karena kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan
aliran Mu’tazillah maka akan terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin yang
bisa melemahkan mereka.[9]
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham
Mu’tazillah, tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan
argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang
mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal-soal yang tidak
pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal ini ia
juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak
mengakui sifat-sifat Tuhan. Beberapa pendapat Al-Asy’ari adalah tentang :
1. Sifat.
Al-Asy’ari
mengakui sifat-sifat Tuhan (Wujud, Qidam, Baqa, Wahdania, Sama’, Basyar, dll),
sesuai dengan dzat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat–
sifat makhluk. Tuhan dapat mendengar tetapi tidak seperti kita, mendengar dan
seterusnya.
2.
Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan manusia.
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa
untuk memperoleh sesuatu perbuatan.
3.
Melihat Tuhan pada hari kiamat.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,
tetapi tidak menuntut cara tertentu dan tidak pula arah tertentu. Al-Maturidi
mengatakan juga bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Firman Allah dalam QS
Al-Qiyamah ayat 22- 23:
وُجُوهٌۭ يَوْمَئِذٍۢ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا
نَاظِرَةٌۭ
Artinya :“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat”. (QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23)
4. Dosa
besar
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah
kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan
dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam surga.
4. Akal dan wahyu serta kriteria baik dan
buruk
Asy’ariyah berpendapat
bahwa akal dan wahyu itu sangat penting, tetapi mereka lebih mengutamakan
wahyu. Mereka berpendapat bahwa menentukan yang baik dan buruk itu ditentukan
dengan wahyu.
5. Qadimnya Quran
Mereka berpendapat bahwa
walaupun al-Quran terdiri dari dari kata-kata, huruf dan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak Qadim. Nasution pun
mengatakan bahwa al-Quran bagi Asy’ariyah tidaklah diciptakan, sebab kalau ia
diciptakan sesuai dengan
ayat.
40): النحل)إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ
لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya: ”Jika kami menghendaki sesuatu,
kami berkata, “Terjadilah” maka ia pun terjadi”. (an-Nahl: 40)
5.Ciri-ciri
Penganut Aliran Asy’ariyah
Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah
sebagai berikut:
1. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan
mereka juga mempelajari ajaran itu.
2. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan
adalah kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak
mengkafirkan orang yang berdosa besar.
3. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada
kehendak mutlak-Nya.
6.
Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah
1.
Al-Baqillani
Namanya
Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran
gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak
jasanya dalam pembelaan agama. Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah
dibicarakan oleh aliran mu’tazillah sebagai dasar penetapan kekuasaan Tuhan
yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujud dan
bisa tidak, seperti halnya aradh. Dan menurutnya tiap-tiap aradh
mempunyai lawan aradh pula. Disinilah terjadi mukjizat itu karena mukjizat
tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan.
2.
Al-Juwaini
Namanya
Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah
besar pergi kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan
ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi islam. Empat hal yang berlaku pada
kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat disaksikan dengan alam yang dapat
disaksikan, yaitu:
1. Illat: Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat
(sebab) seseorang dikatakan “mengetahui” (alim).
2. Syarat : Sifat “hidup” menjadi syarat seseorang
dikatakan mengetahui.
3. Hakikat : Hakikat orang yang mengetahui ialah orang
yang mempunyai sifat “ilmu”.
4. Akal pikiran : Seperti penciptaan menunjukkan adanya
zat yang menciptakan.[10]
3. Al-Ghazaly
Namanya
Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450
H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli pikir islam
yang memiliki puluhan karya seperti Teologi islam, Hukum islam, dll. Sikap
Al-Ghazali yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Faishalut Tafriqah
bainal islam waz zandaqah dan Al-Iqtishad. menurut Al-Ghazali perbedaan dalam
soal – soal kecil baik yang bertalian dengan soal–soal aqidah atau amalan,
bahkan pengingkaran terhadap soal khilaffat yang sudah disepakati oleh kaum
muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk mengkafirkan orang.
III. Pendapat
Mu’tazilah dan Asy-‘Ariyah tentang Mukjizat
1. Pendapat Mu’tazilah
An-Nazzam (183-231 H), berpendapat tentang keadilan Tuhan. Tuhan
itu Maha Adil sehingga tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Ia lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf yang berpendapat bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada
hamba-Nya. An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukan hanya mustahil, tetapi
Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Menurutnya, perbuatan
zalim hanya dikerjakan oleh orang bodoh dan tidak sempurna sedangkan Tuhan jauh
dari keadaan yang demikian. Ia juga berpendapat, mukjizat al-Quran
terletak pada kandungannya, bukan pada
uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika). Selain itu, juga memberi penjelasan
tentang kalam Allah SWT, yaitu segala sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf
dan dapat didengar. Oleh karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru
dan tidak qadim.
2. Pendapat Asy-‘Ariyah
Mereka berpendapat bahwa
walaupun al-Quran terdiri dari dari kata-kata, huruf dan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak Qadim. Nasution pun
mengatakan bahwa al-Quran bagi Asy’ariyah tidaklah diciptakan, sebab kalau ia
diciptakan sesuai dengan ayat.
40): النحل)إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ
لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya: ”Jika kami menghendaki sesuatu,
kami berkata, “Terjadilah” maka ia pun terjadi”. (an-Nahl: 40)
BAB III
PENUTUP
C. Kesimpulan
1. Aliran
Mu’tazilah
Sejarah
munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran Mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
2. Aliran
Asy-‘Ariyah
Nama lengkap Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Ismail
bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah
bin Abi Musa Al-Asy;ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah
pada tahun 260 H/ 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota
Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M. Al-Asy’ari menganut faham
Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia
mengumumkan di hadapan jama’ah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Yang melatarbelakangi
Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah
bermimpi bertemu dengan Rasulullah sebanyak tiga kali.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul.,
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Abbas,
Siradjuddin, I’itqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1980.
Nasution,
Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 2008.
http://blogspot.com/aliran-asyariyah. ( Desember: 2010).
No comments:
Post a Comment