BAB II
PEMBAHASAN.
1.Pengertian Fikih.
Fiqh
secara bahasa : faham, sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan tentang
hukum-hukum syara’ yang praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya secara
terinci.[1]
Ahli hukum Islam mendefinisikan fiqih dalam dua sisi,
yaitu :
a. Fiqih sebagai ilmu, Menurut Muhammad Yusuf Musa, ilmu
fiqih adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
dari dalil-dalil yang terperinci.[2]
b. Fiqih sebagai hasil ilmu atau disebut dengan kumpulan
hukum-hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad.[3]
Karakteristik
ilmu fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu syari’ah dan hukum islam.
perbedaan tersebut dilihat dari dasar atau dalil yang digunakan. Jika syari’at
didasarkan pada nash al-qur’an dan sunnah secara langsung, sementara
hukum-hukum islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama
melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang
terdapat dalam syari’at.
Dengan
demikian, jika syari’at bersifat permanent, kekal dan abadi maka ilmu fiqih
atau hukum islam bersifat temporer dan dapat berubah.[4]
2. Latar Belakang Fikih.
Fiqih
merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh masyarakat,
dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan
dengan fiqih. Keadaan fiqih yang demikian itu tampak menyatu dengan misi agama
yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar mencapai ketertiban
ketenteraman dengan Rasulullah SAW sebagai aktor utama yang melaksanakan
aturan-aturan hukum tersebut sebagai ilmu al-hal.[5]
3. Model-Model Penelitian Fikih
Pada uraian
berikut ini disajikan beberapa model penelitian yang dilakukan oleh beberapa
ahli, antara lain:
A. Model Harun Nasution
Sebagai guru
besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun Nasution juga mempunyai
perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang fiqih ini dituangkan
secara ringkas dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap
berbagai literatur tentang hukum islam dengan menggunakan pendekatan sejarah,
Harun Nasution telah berhasil mendiskripsikan struktur fiqih secara
komprehensif yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam
al-Qur’an.
Latar
belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan fiqih dari sejak zaman nabi
sampai sekarang lengkap dengan beberapa mazhab yang ada didalamnya.
Selanjutnya
melalui pendekatan sejarah Harun Nasution membagi perkembangan fiqih dalam
empat periode yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad dan periode
taklid.[6]
Model
penelitian fiqih yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif,
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kesejarahan. Interprestasi yang dilakukan
atas data-data histories tersebut selalu dikaitkan dengan konteks sejarahnya.
Melalui penelitian ini, pembaca akan mengenal secara awal untuk memasuki kajian
fiqih lebih lanjut.[7]
B. Model Noel J. Coulson
Noel J.
Coulson menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam karyanya yang
berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya bersifat
deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Seluruh informasi
tentang perkembangan hukum pada setiap periode selalu dilihat dari
faktor-faktor sosio cultural uang mempengaruhinya, sehingga tidak ada satu pun
produk hukum yang dibuat dari ruang yang hampa sejarah.
Hasil penelitian dituangkan kedalam tiga bagian,
yaitu:
1. Bagian pertama, menjelaskan tentang terbentuknya
hukum syari’at.
2. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan
praktik hukum islam di abad pertengahan.
C. Model Atho Mudzhar.
Atho Mudzhar lahir di Serang, Jawa Barat pada 20
oktober 1948. Menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1961 dan meneruskan ke
Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun di Serang hingga tahun 1966. Selanjutnya
ia melanjutkan studi di IAIN Jakarta sebagai mahasiswa tugas belajar dari
departemen agama, tamat tahun 1975. Program magisternya ditempuh di Brisbane, Australia
melalui bantuan beasiswa Colombo Plan, dengan orientasi studi Master of
Social and Development pada tahun 1978. Adapun gelar Doctoralnya diperoleh
di University of California Los Angeles (UCLA) pada tahun 1990.
Beberapa buku-bukunya yang telah dipublikasikan antara
lain: Belajar Islam di Amerika (1991) dan Fatwa Majlis Ulama
Indonesia (edisi dwi bahasa: indonesia dan Inggris, 1993) yang berasal dari
disertasi doktoralnya berjudul: “Fatwas of the Council of Indonesian
Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988”.
Islam biasanya didefinisikan sebagai wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan dan keselamatan hidup
umat manusia di dunia dan akhirat. Sebagai wahyu Islam berarti ajaran dan
sebagai ajaran berarti Islam sebagai gejala budaya. Ketika seseorang
mempelajari bagaimana ajaran Islam tentang salat, puasa, zakat, haji, tentang
konsep keesaan Allah, tentang argumen adanya tuhan, tentang Jabariyah dan
Qadariyah, tentang arti dan tafsir kitab suci, tentang riba, tentang aturan
etika dan nilai moral dalam Islam, berarti ia sedang mempelajari Islam sebagai
gejala budaya.
Ketika Islam dilihat sebagai gejala budaya, maka
metodologi yang digunakan adalah metode penelitian budaya seperti filsafat,
sejarah, studi naskah dan arkeologi serta ilmu lainnya. Lalu, ketika Islam
dilihat sebagai gejala sosial maka metodologi yang digunakan adalah metode
penelitian ilmu-ilmu sosial. Atau dapat pula suatu studi Islam mencoba melihat suatu
gejala Islam sebagai gejala budaya dan sosial sekaligus. Studi tentang
fatwa-fatwa dilihat sebagai studi menggabungkan melihat Islam sebagai gejala
budaya dan sosial sekaligus. Ketika studi itu membahas dalil-dalil naqli suatu
fatwa dan pembahasan masalah itu dalam kitab-kitab fikih berarti sedang melihat
fatwa sebagai gejala budaya. Dan manakala studi itu membahas faktor-faktor
sosial politik yang mempengaruhi penafsiran para ulama tentang dalil-dalil
tersebut berarti sedang melihat Islam sebagai gejala sosial.[8]
Atho Mudzhar secara sistematis membagi wilayah
permasalahan fatwa MUI ini dalam dua aspek: pertama, bagaimana fatwa-fatwa MUI
itu dirumuskan secara metodologis; dan kedua, faktor-faktor sosial politik, dan
kultural apa yang melatar belakangi lahirnya fatwa-fatwa MUI itu, dan bagaimana
dampak fatwa itu terhadap masyarakat. Selain itu, Apa substansi yang terkandung
bersama dengan lahirnya fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia?
Penelitian ini mengandung signifkansi pada pemahaman
tentang latar belakang lahirnya fatwa-fatwa MUI. Terkait dengan kelembagaan MUI
yang dibentuk oleh pemerintah, yang bertugas mengeluarkan fatwa hukum Islam
maka ini akan menarik untuk diteliti sejauh mana pengaruh sosio-politik
kultural yang ada dalam masyarakat.
Sebagaimana diketahui pula bahwa Hukum Islam, sejauh
ia berhubungan dengan manusia, sesungguhnya merupakan produk sejarah
kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa setiap
pemikiran hukum Islam pada hakekatnya juga merupakan hasil dari adanya
interaksi antara si pemikir hukum Islam—baik berupa individu ataupun institusi
formal dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik di mana pemikiran
itu dihasilkan.
Syarat utama dalam melakukan penelitian baik tesis,
disertasi ataupun lainnya adalah penguasaan metodologi. Tanpa penguasaan
metodologi ilmiah yang memadai, dapat dipastikan penelitian itu gagal.
Begitupun Atho Mudzhar ketika hendak melakukan penelitan fatwa-fatwa Majlis
Ulama Indonesia. Dia membaca hasil-hasil penelitan sebelumnya yang dinilai
terbaik. Dia juga membaca buku-buku sosiologi seperti The Coming Crisis of
Western Sociology oleh Gouldner, buku tentang teori konflik sosial oleh
Lewis Coser, Teori tentang Organisasi oleh Olson, Tentang Perubahan Sosial oleh
Emitai Etizoni, Metode-metode Penelitian Masyarakat oleh Koentjaraningrat, dan
buku The Discovery of Grounded Theory oleh Barney G.Glazer dan Anzelm Strauss.
Dalam penelitannya tentang fatwa-fatwa MUI mulai tahun
1975-1988, Atho Mudzhar melihat bahwa metodologi fatwa-fatwa itu tidak
mengikuti suatu pola tertentu. Beberapa fatwa berawal dengan dalil-dalil
menurut Al-Qur’an sebelum melacak hadis-hadis yang bersangkutan atau menunjuk
pada naskah-naskah fiqih. Fatwa lainnya mengenai masalah yang dibicarakan tanpa
mempelajari terlebih dahulu ayat-ayat al-Qur’an atu hadis-hadis yang
bersangkutan. Bahkan ada sejumlah fakta, bahwa beberapa fatwa kecil yang bahkan
tidak mengemukakan dalil sama sekali, baik yang berdasarkan naskah maupun yang
menurut akal sama sekali; ia langsung saja menyatakan isi fatwa.[9]
Secara teori, MUI secara mendalam mempelajari keempat
sumber hukum Islam: al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, demikian menurut urutan
tingkat wewenangnya menurut madzhab Syafi’ie. Tetapi dalam praktik, prosedur
metodologis tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan. Disamping terkait dengan persoalan
teknis metodologis, ternyata perumusan fatwa-fatwa MUI senantiasa terikat oleh
beberapa faktor yang bersifat politis. Beberapa
fatwa hanya terikat pada satu faktor, tetapi ada pula yang terikat pada
gabungan beberapa faktor, sehingga sering mempersukar dalam menentukan faktor
mana yang dianggap paling berpengaruh.
Faktor pertama; adalah kecenderungan perumusan
fatwa-fatwa untuk membantu kebijakan pemerintah. Fatwa tentang peternakan kodok,
daging kelinci, pemotongan hewan dengan mesin dan keluarga berencana telah
menunjukkan sifat dukungan fatwa-fatwa tersebut membantu kebijakan-kebijakan
pemerintah. Yang lebih menarik pun dalam hal ini adalah bahwa soal ibudah pun
dapat dikatakan sedikit banyak telah dipengaruhi oleh keinginan untuk membantu
kebijakan pemerintah. Contohnya adalah fatwa tentang berlakuny Jeddah dan
bandar udara Raja ‘Abdul Aziz sebagai tempat mi’qat bagi para jamaah haji
indonesia. Namun demikian bukan berarti keinginan untuk mendukung kebijakan
pemerintah itu tidaklah berarti bahwa fatwa-fatwa tersebut tidak berdasarkan
keagamaan.
Faktor kedua, keinginan untuk menghadapi tantangan dan
menjawab persoalan-persoalan zaman moderen. Banyak fatwa-fatwa yang menunjukkan
telah disusun sedemikian rupa untuk mengatasi perkembangan-perkembangan
moderen. Fatwa yang membolehkan sumbangan kornea mata dan pencangkokan jantung
adalah fatwa-fatwa yang mencoba menaggapi perkembangan moderen dalam bidang
kedokteran. Dan ini bisa juga dicatat bahwa beberapa fatwa bahkan
menunjukkan kemajuan dalam menerapkan cara berpikir menurut hukum agama,
sebagaimana ditunjukkan sewaktu-waktu dengan kesediaan untuk melaksanakan
undang-undang yang dibuat oleh badan sekuler, parlemen, mengungguli pandangan naskah
fiqih baku.
Selain itu ada beberapa fatwa yang menyimpang dari
ikatan pada pandangan ajaran syafi’i dan empat madzhab sunni yang berlaku,
untuk kemudian menerima pandangan mazhab Zahiri yang umumnya tidak diakui,
seperti halnya dalam persoalan sholat jumat bagi orang-orang yang dalam
perjalanan dan soal mi’qat. Akan tetapi harus diingat pula, bahwa gambaran yang
demikian itu bukanlah hal yang berlaku umum. Gambaran utama fatwa itu masih
dikuasai oleh pandangan syafi’i. Hal ini dilihat dari penunjukkan karya-karya
syafi’i sebagai rujukan seperti syarh al-muhazzab dari an-Nawawi dan fath
al-wahhab dari al-Ansari mendapat prioritas utama dari lainnya. Tuhfat
al-muhtaj dari ibn Hajar al Haitami dan I’anat at-Talibin dari Sayyid
Bakri ad-Dimyati menyusul kemudian. Sedangkan karya Syafi’i sendiri, Al-Umm,
jarang sekali dipergunakan dibandingkan dengan susunan rujukan Nahdlatul
Ulama yang memberika prioritas pandangan pandangan ar-Rafi’i bersama dengan
pandangan an-Nawawi, kehadiran an-Nawai maupun al-ansari bersama sebagai
pengganti ar-Rafi’i menunjukkan bahwa Komisi Fatwa MUI tidaklah dikuasai oleh
para ulama Nahdlatull Ulama.
Faktor ketiga, ialah hubungan antaragama. Terbukti
bahwa perumusan beberapa fatwa telah dipengaruhi oleh persaingan sejak lama dan
saling tidak percaya antar umat Islam dan kaum Kristen di negeri ini. Maka,
tidak heran pula untuk menjelasakan fatwa tentang larangan menghadiri perayaan
natal telah dipengaruhi oleh masalah persaingan antar golongan antar agama.
Persaingan itu sangat kuat hingga bertentangan dengan pemerintah mengenai
masalah tersebut. Selain itu juga fatwa-fatwa tentang pernikahan dengan
non-muslim. Dari fatwa-fatwa tersebut nampaknya terdapat keinginan untuk
memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan kewaspadaan terhadap ancaman
kristenisasi. Fatwa yang melarang kaum muslimin hadir pada perayaan natal
adalah salah satu contoh yang jelas di mana MUI telah berani mengambil risiko
untuk tidak sepakat dengan pemerintah demi menghadapi ancaman kristenisasi.
Faktor keempat, adanya hasrat keinginan untuk menjawab
tantangan-tantangan zmaan modern. Di dalam MUI sendiri terdapat oknum-oknum
progresif yang termasuk dalam keanggotaan komisi fatwa. Akan tetapi kedudukan
oknum-oknum progresif itu tidaklah kuat untuk memasuki dinamika yang lebih
besar ke tubuh komisi fatwa dalam pelaksanaan pemikiran hukum Islam.yang
demikian sebagian adalah akibat keterikatan kuat yang berkelanjutan dari
sebagian besar anggota komisi pada mazhab syafi’i disebabkan oleh pendidikan
tradisional modern hanya sebagian kecil saja.
Mengenai peranan fatwa dalam masyarakat, orang dapat
mencatat bahwa kebanyakan fatwa telah dikeluarkan sebagai tanggapan atas
keprihatinan umum pada sesuatu atau atas pertanyaan pemerintah atau badan-badan
lainnya. Ini berarti bahwa pemilihan persoalan yang diberika fatwanya itu telah
dilakukan sedemikian rupa sehingga fatwa-fatwa itu menyangkut masyarakat luas.
Berdasarkan tipologinya, ada lima golongan fatwa
sepanjang menyangkut reaksi masyarakat.
1. Pertama, fatwa yang tersiar luas dan tidak menimbulkan
pertentangan. Fatwa-fatwa ini terkait dengan soal kebudayaan termasuk dalam
golongan ini: izin untuk pertunjukan film Adam and Eve, larangan
pembacaan secara keliru ayat-ayat al-Qur’an dalam lagu-lagu.
2. Kedua, fatwa-fatwa yang tidak mendapat
penyebaran secara luas atau tidak juga memperoleh reaksi banyak dari
masyarakat; fatwa itu disambut oleh kaum muslimin tanpa menimbulkan perhatian.
Termasuk dalam hal ini adalah fatwa sholat jumat dalam perjalanan.
3. Ketiga, fatwa-fatwa yang cukup tersiar luas dan
telah menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Islam, sedangkan
pemerintah tetap bersikap netral. Termasuk dalam hal ini; fatwa mengenai
peternakan kodok dan makan daging kodok.
4. Keempat, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas tetapi
hanya menimbulkan sedikit pertentangan, sedangkan pemerintah menyambutnya
dengan baik. Dalam hal ini, adalah fatwa tentang miqat dan tentang Keluarga
Berencana.
5. Kelima, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas dana
telah menimbulkan banyak pertentangan, sedangkan pemerintah tidak menyukai
fatwa itu. Fatwa yang paling menonjol dari golongan ini adalah fatwa mengenai
kehadiran orang Islam pada perayaan natal.
Maka, secara umum bisa dikatakan bahwa fatwa-fatwa MUI
adalah hasil dari seperangkat keadaan sosial budaya dan sosial politik, yang
kebijakan pemerintah merupakan bagian di dalamnya. Akan tetapi tingkat dampak
fatwa-fatwa pada masyarakat tidak sama dengan tingkat pengaruh pemerintah, baik
secara negatif maupun positif. Fatwa tentang izin untuk menggunakan IUD dalam
Keluarga Berencana yang sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah boleh jadi
mempunyai pengaruh yang sama seperti fatwa tentang larangan bagi kaum muslimin
untuk menghadiri perayaan natal, yang bebas dari pengaruh pemerintah atau
bahkan berlawanan dengan kebijaksanaan pemerintah.[10]
BAB III
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami susun dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi
penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Apabila ada kekurangan dan
kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, kami mohon kritik dan saran yang
bersifat membangun dan memotivasi.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, terj.Moh.Zuhri dan
Ahmad Qarib. Semarang : Dina Utama, 1994.
2. Syukur, Amin.
Metodologi Studi Islam. Semarang: PT Gunung jati, 2001.
3. Abdullah, Yatimin. Study
Islam Kontemporer. Jakarta : Amzah, 2006.
4. Nata, Abudidin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2000.
5. Abdullah, Amin,
dkk. Antologi Studi Islam; Teori dan
Metodologi. Yogyakarta: DIP PTA IAIN KALIJAGA, 2000.
6. Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam: dalam Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
[1] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj.Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib(Semarang : Dina
Utama, 1994) , h. 6.
[4]
Ibid, h. 320.
[5]
Ibid, h. 325.
[7]
Ibid, h. 257.
[8] Amin Abdullah dkk, Antologi Studi
Islam; Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: DIP PTA IAIN KALIJAGA, 2000), h.
240-241.
[9] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi
Islam: dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 247.
No comments:
Post a Comment