Wednesday, May 7, 2014

METODOLOGI STUDI ISLAM : PENELITIAN FIQH



BAB II
PEMBAHASAN.
1.Pengertian Fikih.
            Fiqh secara bahasa : faham, sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci.[1]
Ahli hukum Islam mendefinisikan fiqih dalam dua sisi, yaitu :
a. Fiqih sebagai ilmu, Menurut Muhammad Yusuf Musa, ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.[2]
b. Fiqih sebagai hasil ilmu atau disebut dengan kumpulan hukum-hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad.[3]
Karakteristik ilmu fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu syari’ah dan hukum islam. perbedaan tersebut dilihat dari dasar atau dalil yang digunakan. Jika syari’at didasarkan pada nash al-qur’an dan sunnah secara langsung, sementara hukum-hukum islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at.
Dengan demikian, jika syari’at bersifat permanent, kekal dan abadi maka ilmu fiqih atau hukum islam bersifat temporer dan dapat berubah.[4]
2. Latar Belakang Fikih.
Fiqih merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh masyarakat, dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Keadaan fiqih yang demikian itu tampak menyatu dengan misi agama yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar mencapai ketertiban ketenteraman dengan Rasulullah SAW sebagai aktor utama yang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut sebagai ilmu al-hal.[5]
3. Model-Model Penelitian Fikih
Pada uraian berikut ini disajikan beberapa model penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain:
A. Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun Nasution juga mempunyai perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang fiqih ini dituangkan secara ringkas dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum islam dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendiskripsikan struktur fiqih secara komprehensif yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an.
Latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan fiqih dari sejak zaman nabi sampai sekarang lengkap dengan beberapa mazhab yang ada didalamnya.
Selanjutnya melalui pendekatan sejarah Harun Nasution membagi perkembangan fiqih dalam empat periode yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad dan periode taklid.[6]
Model penelitian fiqih yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan menggunakan pendekatan kesejarahan. Interprestasi yang dilakukan atas data-data histories tersebut selalu dikaitkan dengan konteks sejarahnya. Melalui penelitian ini, pembaca akan mengenal secara awal untuk memasuki kajian fiqih lebih lanjut.[7]
B. Model Noel J. Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam karyanya yang berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Seluruh informasi tentang perkembangan hukum pada setiap periode selalu dilihat dari faktor-faktor sosio cultural uang mempengaruhinya, sehingga tidak ada satu pun produk hukum yang dibuat dari ruang yang hampa sejarah.
Hasil penelitian dituangkan kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Bagian pertama, menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at.
2. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktik hukum islam di abad pertengahan.
C. Model Atho Mudzhar.

Atho Mudzhar lahir di Serang, Jawa Barat pada 20 oktober 1948. Menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1961 dan meneruskan ke Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun di Serang hingga tahun 1966. Selanjutnya ia melanjutkan studi di IAIN Jakarta sebagai mahasiswa tugas belajar dari departemen agama, tamat tahun 1975. Program magisternya ditempuh di Brisbane, Australia melalui bantuan beasiswa Colombo Plan, dengan orientasi studi Master of Social and Development pada tahun 1978. Adapun gelar Doctoralnya diperoleh di University of California Los Angeles (UCLA) pada tahun 1990.

Beberapa buku-bukunya yang telah dipublikasikan antara lain: Belajar Islam di Amerika (1991) dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (edisi dwi bahasa: indonesia dan Inggris, 1993) yang berasal dari disertasi doktoralnya berjudul: “Fatwas of the Council of Indonesian Ulama:  A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988”.

Islam biasanya didefinisikan sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan dan keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Sebagai wahyu Islam berarti ajaran dan sebagai ajaran berarti Islam sebagai gejala budaya. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran Islam tentang salat, puasa, zakat, haji, tentang konsep keesaan Allah, tentang argumen adanya tuhan, tentang Jabariyah dan Qadariyah, tentang arti dan tafsir kitab suci, tentang riba, tentang aturan etika dan nilai moral dalam Islam, berarti ia sedang mempelajari Islam sebagai gejala budaya.

Ketika Islam dilihat sebagai gejala budaya, maka metodologi yang digunakan adalah metode penelitian budaya seperti filsafat, sejarah, studi naskah dan arkeologi serta ilmu lainnya. Lalu, ketika Islam dilihat sebagai gejala sosial maka metodologi yang digunakan adalah metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Atau dapat pula suatu studi Islam mencoba melihat suatu gejala Islam sebagai gejala budaya dan sosial sekaligus. Studi tentang fatwa-fatwa dilihat sebagai studi menggabungkan melihat Islam sebagai gejala budaya dan sosial sekaligus. Ketika studi itu membahas dalil-dalil naqli suatu fatwa dan pembahasan masalah itu dalam kitab-kitab fikih berarti sedang melihat fatwa sebagai gejala budaya. Dan manakala studi itu membahas faktor-faktor sosial politik yang mempengaruhi penafsiran para ulama tentang dalil-dalil tersebut berarti sedang melihat Islam sebagai gejala sosial.[8]

Atho Mudzhar secara sistematis membagi wilayah permasalahan fatwa MUI ini dalam dua aspek: pertama, bagaimana fatwa-fatwa MUI itu dirumuskan secara metodologis; dan kedua, faktor-faktor sosial politik, dan kultural apa yang melatar belakangi lahirnya fatwa-fatwa MUI itu, dan bagaimana dampak fatwa itu terhadap masyarakat. Selain itu, Apa substansi yang terkandung bersama dengan lahirnya fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia?

Penelitian ini mengandung signifkansi pada pemahaman tentang latar belakang lahirnya fatwa-fatwa MUI. Terkait dengan kelembagaan MUI yang dibentuk oleh pemerintah, yang bertugas mengeluarkan fatwa hukum Islam maka ini akan menarik untuk diteliti sejauh mana pengaruh sosio-politik kultural yang ada dalam masyarakat.

Sebagaimana diketahui pula bahwa Hukum Islam, sejauh ia berhubungan dengan manusia, sesungguhnya merupakan produk sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa setiap pemikiran hukum Islam pada hakekatnya juga merupakan hasil dari adanya interaksi antara si pemikir hukum Islam—baik berupa individu ataupun institusi formal dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik di mana pemikiran itu dihasilkan.

Syarat utama dalam melakukan penelitian baik tesis, disertasi ataupun lainnya adalah penguasaan metodologi. Tanpa penguasaan metodologi ilmiah yang memadai, dapat dipastikan penelitian itu gagal. Begitupun Atho Mudzhar ketika hendak melakukan penelitan fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia. Dia membaca hasil-hasil penelitan sebelumnya yang dinilai terbaik. Dia juga membaca buku-buku sosiologi seperti The Coming Crisis of Western Sociology oleh Gouldner, buku tentang teori konflik sosial oleh Lewis Coser, Teori tentang Organisasi oleh Olson, Tentang Perubahan Sosial oleh Emitai Etizoni, Metode-metode Penelitian Masyarakat oleh Koentjaraningrat, dan buku The Discovery of Grounded Theory oleh Barney G.Glazer dan Anzelm Strauss.

Dalam penelitannya tentang fatwa-fatwa MUI mulai tahun 1975-1988, Atho Mudzhar melihat bahwa metodologi fatwa-fatwa itu tidak mengikuti suatu pola tertentu. Beberapa fatwa berawal dengan dalil-dalil menurut Al-Qur’an sebelum melacak hadis-hadis yang bersangkutan atau menunjuk pada naskah-naskah fiqih. Fatwa lainnya mengenai masalah yang dibicarakan tanpa mempelajari terlebih dahulu ayat-ayat al-Qur’an atu hadis-hadis yang bersangkutan. Bahkan ada sejumlah fakta, bahwa beberapa fatwa kecil yang bahkan tidak mengemukakan dalil sama sekali, baik yang berdasarkan naskah maupun yang menurut akal sama sekali; ia langsung saja menyatakan isi fatwa.[9]

Secara teori, MUI secara mendalam mempelajari keempat sumber hukum Islam: al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, demikian menurut urutan tingkat wewenangnya menurut madzhab Syafi’ie. Tetapi dalam praktik, prosedur metodologis tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan. Disamping terkait dengan persoalan teknis metodologis, ternyata perumusan fatwa-fatwa MUI senantiasa terikat oleh beberapa faktor yang bersifat politis. Beberapa fatwa hanya terikat pada satu faktor, tetapi ada pula yang terikat pada gabungan beberapa faktor, sehingga sering mempersukar dalam menentukan faktor mana yang dianggap paling berpengaruh.

Faktor pertama; adalah kecenderungan perumusan fatwa-fatwa untuk membantu kebijakan pemerintah. Fatwa tentang peternakan kodok, daging kelinci, pemotongan hewan dengan mesin dan keluarga berencana telah menunjukkan sifat dukungan fatwa-fatwa tersebut membantu kebijakan-kebijakan pemerintah. Yang lebih menarik pun dalam hal ini adalah bahwa soal ibudah pun dapat dikatakan sedikit banyak telah dipengaruhi oleh keinginan untuk membantu kebijakan pemerintah. Contohnya adalah fatwa tentang berlakuny Jeddah dan bandar udara Raja ‘Abdul Aziz sebagai tempat mi’qat bagi para jamaah haji indonesia. Namun demikian bukan berarti keinginan untuk mendukung kebijakan pemerintah itu tidaklah berarti bahwa fatwa-fatwa tersebut tidak berdasarkan keagamaan.

Faktor kedua, keinginan untuk menghadapi tantangan dan menjawab persoalan-persoalan zaman moderen. Banyak fatwa-fatwa yang menunjukkan telah disusun sedemikian rupa untuk mengatasi perkembangan-perkembangan moderen. Fatwa yang membolehkan sumbangan kornea mata dan pencangkokan jantung adalah fatwa-fatwa yang mencoba menaggapi perkembangan moderen dalam bidang kedokteran. Dan ini bisa juga dicatat bahwa beberapa fatwa bahkan  menunjukkan kemajuan dalam menerapkan cara berpikir menurut hukum agama, sebagaimana ditunjukkan sewaktu-waktu dengan kesediaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh badan sekuler, parlemen, mengungguli pandangan naskah fiqih baku.

Selain itu ada beberapa fatwa yang menyimpang dari ikatan pada pandangan ajaran syafi’i dan empat madzhab sunni yang berlaku, untuk kemudian menerima pandangan mazhab Zahiri yang umumnya tidak diakui, seperti halnya dalam persoalan sholat jumat bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan soal mi’qat. Akan tetapi harus diingat pula, bahwa gambaran yang demikian itu bukanlah hal yang berlaku umum. Gambaran utama fatwa itu masih dikuasai oleh pandangan syafi’i. Hal ini dilihat dari penunjukkan karya-karya syafi’i sebagai rujukan seperti syarh al-muhazzab dari an-Nawawi dan fath al-wahhab dari al-Ansari mendapat prioritas utama dari lainnya. Tuhfat al-muhtaj dari ibn Hajar al Haitami dan I’anat at-Talibin dari Sayyid Bakri ad-Dimyati menyusul kemudian. Sedangkan karya Syafi’i sendiri, Al-Umm, jarang sekali dipergunakan dibandingkan dengan susunan rujukan Nahdlatul Ulama yang memberika prioritas pandangan pandangan ar-Rafi’i bersama dengan pandangan an-Nawawi, kehadiran an-Nawai maupun al-ansari bersama sebagai pengganti ar-Rafi’i menunjukkan bahwa Komisi Fatwa MUI tidaklah dikuasai oleh para ulama Nahdlatull Ulama.

Faktor ketiga, ialah hubungan antaragama. Terbukti bahwa perumusan beberapa fatwa telah dipengaruhi oleh persaingan sejak lama dan saling tidak percaya antar umat Islam dan kaum Kristen di negeri ini. Maka, tidak heran pula untuk menjelasakan fatwa tentang larangan menghadiri perayaan natal telah dipengaruhi oleh masalah persaingan antar golongan antar agama. Persaingan itu sangat kuat hingga bertentangan dengan pemerintah mengenai masalah tersebut. Selain itu juga fatwa-fatwa tentang pernikahan dengan non-muslim. Dari fatwa-fatwa tersebut nampaknya terdapat keinginan untuk memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan kewaspadaan terhadap ancaman kristenisasi. Fatwa yang melarang kaum muslimin hadir pada perayaan natal adalah salah satu contoh yang jelas di mana MUI telah berani mengambil risiko untuk tidak sepakat dengan pemerintah demi menghadapi ancaman kristenisasi.

Faktor keempat, adanya hasrat keinginan untuk menjawab tantangan-tantangan zmaan modern. Di dalam MUI sendiri terdapat oknum-oknum progresif yang termasuk dalam keanggotaan komisi fatwa. Akan tetapi kedudukan oknum-oknum progresif itu tidaklah kuat untuk memasuki dinamika yang lebih besar ke tubuh komisi fatwa dalam pelaksanaan pemikiran hukum Islam.yang demikian sebagian adalah akibat keterikatan kuat yang berkelanjutan dari sebagian besar anggota komisi pada mazhab syafi’i disebabkan oleh pendidikan tradisional modern hanya sebagian kecil saja.

Mengenai peranan fatwa dalam masyarakat, orang dapat mencatat bahwa kebanyakan fatwa telah dikeluarkan sebagai tanggapan atas keprihatinan umum pada sesuatu atau atas pertanyaan pemerintah atau badan-badan lainnya. Ini berarti bahwa pemilihan persoalan yang diberika fatwanya itu telah dilakukan sedemikian rupa sehingga fatwa-fatwa itu menyangkut masyarakat luas.
Berdasarkan tipologinya, ada lima golongan fatwa sepanjang menyangkut reaksi masyarakat.
1.      Pertama, fatwa yang tersiar luas dan tidak menimbulkan pertentangan. Fatwa-fatwa ini terkait dengan soal kebudayaan termasuk dalam golongan ini: izin untuk pertunjukan film Adam and Eve, larangan pembacaan secara keliru ayat-ayat al-Qur’an dalam lagu-lagu.
2.       Kedua, fatwa-fatwa yang tidak mendapat penyebaran secara luas atau tidak juga memperoleh reaksi banyak dari masyarakat; fatwa itu disambut oleh kaum muslimin tanpa menimbulkan perhatian. Termasuk dalam hal ini adalah fatwa sholat jumat dalam perjalanan.
3.       Ketiga, fatwa-fatwa yang cukup tersiar luas dan telah menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Islam, sedangkan pemerintah tetap bersikap netral. Termasuk dalam hal ini; fatwa mengenai peternakan kodok dan makan daging kodok.
4.      Keempat, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas tetapi hanya menimbulkan sedikit pertentangan, sedangkan pemerintah menyambutnya dengan baik. Dalam hal ini, adalah fatwa tentang miqat dan tentang Keluarga Berencana.
5.      Kelima, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas dana telah menimbulkan banyak pertentangan, sedangkan pemerintah tidak menyukai fatwa itu. Fatwa yang paling menonjol dari golongan ini adalah fatwa mengenai kehadiran orang Islam pada perayaan natal.

Maka, secara umum bisa dikatakan bahwa fatwa-fatwa MUI adalah hasil dari seperangkat keadaan sosial budaya dan sosial politik, yang kebijakan pemerintah merupakan bagian di dalamnya. Akan tetapi tingkat dampak fatwa-fatwa pada masyarakat tidak sama dengan tingkat pengaruh pemerintah, baik secara negatif maupun positif. Fatwa tentang izin untuk menggunakan IUD dalam Keluarga Berencana yang sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah boleh jadi mempunyai pengaruh yang sama seperti fatwa tentang larangan bagi kaum muslimin untuk menghadiri perayaan natal, yang bebas dari pengaruh pemerintah atau bahkan berlawanan dengan kebijaksanaan pemerintah.[10]







BAB III
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Apabila ada kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dan memotivasi.









                                  










DAFTAR PUSTAKA
1. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, terj.Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang : Dina Utama, 1994.
2. Syukur, Amin. Metodologi Studi Islam. Semarang: PT Gunung jati, 2001.
3. Abdullah, Yatimin. Study Islam Kontemporer. Jakarta : Amzah, 2006.
4. Nata, Abudidin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
5. Abdullah, Amin, dkk.  Antologi Studi Islam; Teori dan Metodologi. Yogyakarta: DIP PTA IAIN KALIJAGA, 2000.
6.  Mudzhar,  Atho.  Pendekatan Studi Islam: dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.




[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj.Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib(Semarang : Dina Utama, 1994) , h. 6.
[2] Amin Syukur, Metodologi Studi Islam, (Semarang: PT Gunung jati, 2001) h. 81-82.
[3]  Yatimin Abdullah, Study Islam Kontemporer, (Jakarta : Amzah, 2006) h. 319.
[4] Ibid, h. 320.
[5] Ibid, h. 325.
[6] Abudidin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000)h .252-253.
[7] Ibid, h. 257.
[8] Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam; Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: DIP PTA IAIN KALIJAGA, 2000), h. 240-241.
[9] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 247.

[10] Ibid, h. 247-149.


PEDOMAN HIDUP AL-QUR'AN N AL-HADITS.....

No comments:

Post a Comment