Nama : FAHMI RANDA SIREGAR Day/Date : Wednesday,18/12/2013
Nim : 45.12.3.006 Faculty : Ushuluddin
Jurusan: THI
Tugas : Sejarah Peradaban Islam
PERADABAN ISLAM DI
MINANGKABAU
Kapan dan darimana
masuknya Islam di Sumatera Barat masih menjadi perdebatan para ahli sejarah.
Terdapat indikasi bahwa pantai timur Sumatera telah disinggahi
saudagar-saudagar Islam sejak abad ke-7[1],sedangkan
kronik Cina Xin Tangshu menyebutkan bahwa pada tahun, 675 orang-orang Ta-Shih (Arab) telah
mempunyai perkampungan di pantai barat Sumatera[2].Pihak
yang mengatakan Islam masuk ke Minangkabau dari pantai timur Sumatera
memperkirakannya masuk dari Siak, sementara pihak yang
mengatakan masuk dari pantai barat memperkirakannya masuk dari Aceh. Budayawan A.A. Navis berpendapat bahwa
Islam telah masuk dari Aceh sejak abad ke-8[3].
Para geografer muslim
abad ke-9 dan 10, seperti Ibnu Khurdadzbih dan Al Biruni, menuliskan bahwa
Sumatera (yang mereka sebut Zabaj) adalah bagian rute perdagangan mereka
menuju Cina.Pengelana Venesia Marco Polo (1292) yang singgah di
Sumatera menulis bahwa penduduk pedalaman pada umumnya masih belum beragama
Islam, sedangkan pengelana Maroko Ibnu Batutah (1345) menemukan bahwa
Mazhab
Syafi'i telah diamalkan oleh masyarakat Pasai. Pengelana Portugis Tomé Pires (1512-1515) secara
khusus menyatakan bahwa hanya satu dari "tiga raja Minangkabau" yang saat itu
telah memeluk Islam.
Salah seorang ulama
terkemuka pertama Minangkabau ialah Syekh
Burhanuddin (1646-1692), yang merupakan pelopor penyebaran Islam di daerah pedalaman Kerajaan
Pagaruyung.Syekh Burhanuddin yang menetap di nagari Ulakan, Pariaman merupakan murid dari
ulama besar asal Aceh, Syekh Abdurrauf Singkil.Sebaliknya terdapat
pula ulama Minangkabau bernama Syekh Halilullah (bahasa Aceh: Teungku di Ujong)
yang turut membantu Kesultanan Aceh dalam menyebarkan
Islam di Pulau Simeulue[4].
Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah yang
oleh beberapa penelitian,dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya
Islam di Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan
yang –oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh “pembawa” Islam pertama ke
wilayah ini. Syekh Burhanuddin adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil, ulama
tarikat Syatariyah Aceh. Syekh Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran
tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama kalinya. Tarikat ini kemudian
berkembang di Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan
oleh murid-murid Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang
berawal dari pesisir barat ini oleh beberapa penulis sering dijadikan titik
tolak kajian tentang Islam di Minangkabau, termasuk pengembangannya ke wilayah
pedalaman. Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat
diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah
Syatariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah, sebagai yang disebutkan
terdahulu, telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid
Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat inipun
kemudian berkembang di pesisir barat Sumatera Barat dan di beberapa wilayah
pedalaman Minangkabau.
Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman
ini, menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan
gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu
sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat,
dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman
lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya.
Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi
perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam
perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.
Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang
disebutkan, memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah
pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru
sebagai akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis
kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan
tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di
beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding
Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh beberapa penulis
(lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).
Penemuan naskah-naskah keagamaan di Sumatera Barat
pada dasa warsa terakhir, menunjukkan kecendrungan beralihnya dominasi jumlah
temuan ke wilayah darek (M. Yusuf, 1995), tepatnya bagian timur Sumatera Barat
seperti Agam dan 50 Kota. Keadaan ini memberi indikasi baru tentang intensitas
pengembangan Islam di Minangkabau melalui jalur perdagangan pesisir timur,
karena secara geografis daerah ini lebih dekat dan lebih mudah dijangkau oleh
pelayaran dagang di jalur sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera.
Hal yang demikian sekaligus juga akan memperlihatkan satu kemungkinan bagi
peran salah satu ordo tarikat (Naqsyabandi) dalam proses perkembangan budaya
masyarakat Minangkabau. Kedua indikasi ini paling tidak akan memperkaya temuan
tentang jaringan aktifitas intelektual Islam yang selama ini lebih banyak
mengungkap tentang besarnya peranan pesisir barat Sumatera dalam penyebaran
agama Islam di daerah ini pada tahap awal.
Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra
tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik
yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat
terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syatariyah, maupun
Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tasauf dengan
menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995 : 288) dan tidak terdapat indikasi
bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang
terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang
ditinggalkan oleh kedua aliran tasauf ini tidak hanya berisikan ajaran tasauf
semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan
upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh
tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin
murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (lihat :Dobbin, 1992:151-152).
Keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di
Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan
para tokoh tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan
kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris
pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam perjalanannya memang
di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa
episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang
sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural
masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga, justru
sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika
perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara
Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan
pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang
berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya
dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam
melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20,
di saat mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau,
tidak dapat dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16
atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak
budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta
bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi
salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang
muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi
beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena
tersebut dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis
Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang
terbatas serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa
dimensi dari pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai
ketika Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran
pemasyarakatan syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di
wilayah pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan
kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini
berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing karena
menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa otoritas mereka
terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku Nan Tuo yang tidak
sabar dalam menjalankan aksi syar’iyyah yang dihadapkan pada praktek-praktek
adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pertikaian adat dan agama
yang terjadi pada awal abad ke 19 ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis
asing--, dianggap sebagai aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam
sendiri. Berbagai interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan
‘menarik’ untuk memberikan gambaran “kelabu” seba-gai militansi golongan Islam
dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007
yang lalu.
Pertikaian adat dan agama yang terjadi di wilayah
pedalaman pada paruh pertama abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke
wilayah ini. Belanda, pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah
pesisir karena kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun
dengan politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan
kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai wilayah-wilayah
mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang telah menguasai banyak
nagari di wilayah pedalaman berusaha mempertahankan wilayah mereka dari
intervensi asing. Ketika tujuan apa yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan
aristokrasi adat disadari, maka perjuangan kaum agama ini beralih menjadi
perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung
pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara
Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837,
perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda,
meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi
musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi
terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk berangkat ke Mekkah
memperdalam pengetahuan agama Islam sambil menunaikan ibadah Haji. Kontak kedua
kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa
pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan
sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, salah seorang putera
Minangkabau yang tidak merasa betah dengan kondisi sosial di daerah
kelahirannya ini, mencoba untuk menetap di Mekkah dalam rangka mendalami
ilmu-ilmu agama. Ketekunan serta tekadnya yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib
akhirnya mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan,
dialah ulama asing pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab Syafi’i di
Mekkah. Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar ke pusat Islam ini dikader
langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke
Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi
pembaharuan keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya pemikiran kebangsaan yang
menjadi pemicu perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia pada awal abad
ke-20.
Munculnya generasi baru intelektual Islam Minangkabau
pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi
penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan
barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak
nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan
sistem pendidikan barat. Namun, seiring dengan kembalinya generasi baru
intelektual Islam yang belajar di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta
pula sebuah dinamika konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya
pemikiran baru seputar keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad.
Konflik internal kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua
dan Kaum Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini
adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh sebagian
ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya,
seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai dengan sunnah (Hamka,
1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada masalah yang menyangkut
kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat tentang masalah-masalah furu’iyyah
lainnya.
Ulama-ulama kedua golongan ini pada dasarnya adalah
produk Timur Tengah dan hampir semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawy.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Pendek kata, situasi Minangkabau dengan keunikan
kulturalnya telah melahirkan banyak tokoh intelektual dan pejuang yang
responsif terhadap berbagai persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh
wanita semisal Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari,
dan lain-lain dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang politik
kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Natsir, Hamka dan
lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Setidaknya sampai zaman
kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai bidang telah terlahir dari ranah Minang
ini. Dari catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan
yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak
banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga masa
akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak banyak yang mampu
mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini, gagasan-gagasan segar dari kalangan
intelektual, politisi dan ulama tidak lagi menggema di seantero nusantara ini.
Demikian juga dalam bidang pendidikan Islam,--setidaknya dalam tiga dasa warsa
terakhir--, madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi
oleh murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal
nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat mandegnya
proses regenerasi dikalangan mereka. Inilah realitas Minangkabau hingga waktu
ini[5].
[1]Djokosurjo (2001). Agama dan Perubahan Sosial: Studi
antara Islam, Masyarakat dan Struktur Sosial-Politik di Indonesia. LKPSM, Yogyakarta.
hlm. 148.
[3]Navis, A.A. (1984). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat
dan Kebudayaan Minangkabau, PT Grafiti Pers, Jakarta. Hlm. 24-26.
[5]
http://irhashshamad.blogspot.com/2009/02/islam-di-minangkabau.html
No comments:
Post a Comment