Atau Share Karena Berpahala....!!!!!
BAB II
PEMBAHASAN
I. BIOGRAFI NASIR HAMID ABU
ZAYD
Gambaran riwayat hidup Nasr Abu Zayd sebagaimana diungkapkan oleh
Henri Shalahuddin sebagai berikut:
Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir.
Pada usia 8 tahun dia sudah berhasil
menghafal Al–Qur’an 30 Juz seperti kebanyakan anak-anak muslim dinegaranya.
Pendidikan tingginya, mulai dari strata satu, dua dan tiga dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di
Universitas Kairo dengan predikat highst honour, ia pernah tinggal di Amerika selama
dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di
Institut Midle Eastren Studies, Universitas Pensylvania, Philadelphia, USA. Di
universitas ini dia mempelajari Folklore
dan metodologi kajian lapangan ( fieldwork).
Pada tahun 1992 Abu Zayd menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat
usianya menginjak 49 tahun. Kemudian
ditahun yang sama dia mengajukan
karya-karya untuk dipromosikan mendapatkan gelar professor penuh fakultas
sastra Universitas Kairo. Diantara sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqdu Al Khitab Al-Dini
yang diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya
melejit didunia islam. Namun ditahun itu juga dimulailah “kasus Abu Zayd”
dipersidangan yang berakir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut
menceraikan istrinya pada tahun 1995.
Dalam putusan di pengadilan,
kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh Abu Zayd disimpulkan dengan istilah “10
DOSA BESAR ABU ZAYD: ABU ZAYD’S TEN
BIG SIN OR MISTAKES”, sebagai
berikut:
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang
disebut dalam Al Qur’an seperti ‘Arsy, Malaikat, Syaitan, Jin, Surga dan Neraka
adala ‘MITOS BELAKA’.
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘Prodak
Budaya’ (muntaj tsaqofi) dan karenanya mengingkari status azali al Qur’an
sebagai Kalamullah yang telah ada dalam
Al Lawh al Mahfudz.
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘teks
linguistik’ (nashsh lughawi ) ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW.
Telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al Qur’an adalah karangan beliau.
4. Berpendapat dan mengatakan
bahwa ilmu-ilmu al Qur’an ( ‘Ulum al Qur’an ) adalah tradisireaktioner serta berpendapat
dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah faktor penyebab kemuduran Umat Islam.
5. Berpendapat dan mengatakan
bahwa Iman kepada perkara-perkara
ghoib merupakan indikator akal yang
larut dalam mitos.
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah Agama Arab, dan
karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat
manusia.
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al Qur’an yang ada merupakan versi ‘Quraiys’ dan itu
sengaja demi mempertahankan supremasi
suku Quraiys.
8. Mengingkari
otentisitas Rasulullah SAW.
9. Mengingkari dan mengajak
orang keluar dari dari otoritas teks-teks Agama (maksudnya: al Qur’an
dan Hadist).
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada
teks-teks Agama adalah salah satu bentuk perbudakan.[1]
Sehingga karya-karyanya dinilai kurang bermutu dan promosinya pun ditolak bahkan dinyatakan
menyimpang dan merusak karena
isinya melecehkan ajaran Islam, menghujat
Rasulullah SAW, menodai Al-Qur’an dan menghina ulama’ salaf. Profesor ‘Abdul
Sabur Shahin’, dalam khotbahnya di Masjid “Amru bin “Ash menyatakan bahwa Abu
Zayd adalah murtad.
Setelah mengaku adanya ancaman
mati dari berbagai pihak, pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan istrinya memutuskan untuk hengkang dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga
sekarang. Menariknya justru di negeri Belanda inilah Abu Zayd justru
mendapatkan sambutan hangat dan perlakukan istimewa dan dihormati sebagai
ilmuwan besar dalam bidang Studi Al Qur’an, dianugrahi gelar Profesor dibidang bahasa Arab dan Studi islam dari Leiden
University, sebuah Universitas kuno yang
didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan.
Saat ini dia menduduki “kursi
Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrech Belanda. Selain itu
juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di
Leiden dan aktif terlibat dalam proyak riset tentang
hermeneutika Yahudi dan Islam sebagai
ktitik cultural, bekerja pada team “ Islam dan Modernitas” pada tahun 2005, dia menerima anugrah “The
Ibu Rushd Prize Of Fredoom Thought’, sebuah
penghargaan atas usahanya
mengkapanyakan ‘Kebebasan berfikir‘ dari Mesir.
Dari sinilah dia justru berkesempatan mendidik sarjana dan dosen
dari Indonesia. Kini sejumlah muridnya telah menempati pos- pos penting di perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Disamping itu pemikirannya pun telah banyak menarik perhatian dan bahkan
diajarkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia.[2]
Biografi Abu Zaid memberi gambaran kepada kita bahwa pemikiran yang ia hasilkan memiliki
relevansi dengan karya – karyanya. Hal ini bisa kita lihat dalam karya-karyanya,
yang secara umum, menyorot tentang studi
Al Qur’an Karya–karya yang dihasilkan
Abu Zaid, dapatlah dipetakan sebagai berikut :
I. Karya-karya yang bertema Studi Al Qur’an.
1. Rasionalisme dalam Tafsir:
Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah: Al Ittijah al-‘aqliyah fit Tafsir:
Dirosah fi mafhum al majaz ‘inda al Mu’tazilah, Beirut, 1982.
2. Filsafat Hermenutika: Studi Hermeneutiika al Qur’an menurut
Muhyidin ibn ‘Arabi ( Falsafat al Ta’wil al Qur’an ‘indi Muhyiddin inb Arabi,
Beirut, 1983).
3. Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an ( Mafhum An Nashsh:
Dirosah fi ulumul Qur’an, Cairo, 1987).
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutika, (Isykaliyyat
al Qiro’ah wa Aliyyat at Ta’wil, Cairo, 1992).
5. Kritik Wacana Agama (
Naqd al-khitab ad diniy, 1992).
6. Imam Syafi’I dan Peletakkan Dasar Idiologi Tengah, (al Imam asy
syafi’I wa Ta’sis Aidulujiyyat al wasathiyyah, Cairo 1992).
7. Al Ittijah Al ‘Aqli fi Al-Attafsir: Dirosah fi Qodiyat al Majas fi al Qur’an “inda
Mu’tazilah (Tren rasional dalam penafsiran: kajian dalam masalah metafora dalam al Qur’an menurut Mu’tazilah).
8. Falsafah al’Takwil: Dirosah fi al Ta’wil ‘inda Muhyiddin ibnu
‘Arabi (Filsafat Hermeneutika: Kajian Hermeneutika dalam al–Qur’an Ibnu ‘Arabi).
9. ‘Ilmi Al-‘Alamat (Sistem Isyarat).
10. Retinhking the Qur’an: Toward Humanistics Hermeneutics.
II. Karya yang bertemakan tentang wacana kemodernan, kajian tokoh
klasik dan politik yaitu:
1. Imam Al-Shafi’I wa Ta’sis Al-Aydulujiya al-Wasitiyah.
2. Naqdu Al-Kitab Al-Din (Kritik
wacana keagamaan).
3. Al Mar’ah fi Khitab al Azmah (Wanita dalam wacana krisis).
4. Al- Tafkir fi zamani al tafkir didu al jahli wa al zaif wa al
kharofat (Pemikiran didalam masa pengafiran melawan kebodohan dan khufarod).
5. Al Khilafah wa Sultah al Umah (Khilafah dan penguasah Umat).
6. An Nass wa Sulton wa al Hakikah: Irodatu al Ma’rifah wa Irodatun
al Haymanah (Teks kekuasaan, relaita: kelendak
ilmu pengetahuan dan
Hegemonia kekuasaan).
7. Dawairul Khouf: Qiro’ah fi Khitabi al Ma’a (lingkaran ketakutan:
pembacaan wacana wanita).
8. Al khitab wa al Ta’wil (Wacana dan hermeneutika).
9. Hakadza Takallama ibnu ‘Arobiy (seperti inilah ibnu ‘Arobi berbicara).
10. Voice of an exile (Suara
dari pengasingan). Ditambah beberapa artikel
dalam bahasa Inggris yang melengkapi pengembaraan intelektual Abu Zayd
dalam bidang keilmuan keislaman dan humaniora. Dan tidak bisa dipisahkan
pengembaraan intelektualnya dengan kedekatannya terhadap hermeneutika.[3]
Namun demikian yang terpenting dalam memahami intelektualitas Abu Zayd dalam
keseluruhan karyanya adalah keinginan nalar akademik relejinya untuk
membangun ‘kesadaran ilmiyah’ bahwa
agama islam harus difahami sebagai suatu yang tidak sekedar normatif tetapi
sesuatu yang terbuka untuk ditelaah
secara ilmiah. Terutama masalah tradisi yang tidak perlu dipuja-puja
seolah-olah terlindungi oleh dinding anti kritik (status quo) dan menutup
adanya kemungkinan berijtihad.
II. HERMENEUTIKA, METODE TAFSIR
Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti “menafsirkan “. Maka kata benda hermeneiasecara harfiyah dapat diartikan sebagai “penafsiran”
atau Interpretasi.[4]
Jika dikaitkan dengan cerita Hermes sebagai simbol seorang duta penerima pesan
yang harus mampu menginterprestasikan
pesan yang ia terima dari dewa Jupiter maka hermeneutic pada akhirnya
diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti. Dalam wilayah yang lebih aplikatif pada dasarnya hermeneutika
berhubungan dengan bahasa.[5]
Bahasa merupakan media perantara komunikasi manusia, pada hakikatnya
bahasa dianggap sebagai ‘suatu sistem tanda yang menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan yang membentuk tatabahasanya, yakni sebagai kode murni atau
system komunikasi, atau sebagai seperangkat pola tingka laku yang telah
ditransmisikan secara kultural dan dipakai oleh sekelompok individu, yakni kode
sebagai bagian dari kebudayaan‘.[6]
Bahasa muncul dari pengalaman mental yang terproduksi dalam fikiran manusia yang kaya akan warna,
imajinasi dan khayalan. Namun ketika produk dalam fikiran ini tertuang dalam
bentuk bahasa lisan berupa ungkapan akan mengalami penyempitan atau
pengkerutan. Lebih menyempit lagi apabila apa yang terproduksi dalam fikiran
ini tertuang dalam bentuk bahasa tulis berupa kata-kata.[7]
Penyempitan yang terjadi dalam bahasa manusia tersebut menghasilkan suatu
produk yang tereduksi, berbeda-beda dan bahkan tidak lengkap bentuk
pengungkapannya dalam wilayah komunikasi, dibandingkan dengan proses yang
terjadi dalam fikiran, sehingga sangat memungkinkan terjadi kesalahfahaman,
kekurangfahaman oleh penerima informasi ketika menerimanya dari pemberi
informasi. Lebih parah lagi apabila kekeliruan pemahaman, penerima informasi
disampaikan kepada orang ketiga yang tidak tahun sama sekali proses dialog.
Maka muncullah ‘lingkaran kesalahfaman‘ dalam komunikasi.
Pada hakekatnya, komuninasi bukan hanya terbatas antara dua
individu yang berdialog. Setiap orang yang membaca apa yang ada disekelilingnya
sebenarnya tanpa sadar telah melakukan dialog. dari sudut semiologi, apapun
yang kita jumpai disekeliling kita adalah teks yang bisa kita baca dan
tafsirkan.[8]
Teks adalah sebuah tanda atau symbul ( icon). Tanda sekaligus juga memeberi
tanda dari sesuatu yang ditandai (pesan yang tersimpan) ataupun pencipta tanda.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan apa fungsi dari tanda tersebut ?, Apa peran serta maknanya ?, tanda dalam hati
ini dapat difungsikan pada dua sisi yang
berbeda perannya. Satu sisi, tanda berperan sebagaisubyek ketika ia menyampaikan
suatu pesan kepada orang yang membacanya. Satu sisi lain, ketika tanda dibaca
maka tanda berperan sebagaiobyek baca yang difahami maksud pesannya. Dengan
demikian tanda memiliki peran ganda
dalam aktifitas dialog yakni sebagai subyek sekaligus sebagai obyek. Dan ketika
manusia membaca setiap tanda, pada hakikatnya dia telah melakukan proses
penafsiran.
Penafsiran bukan perkara sederhana, tetapi merupakan aktifitas
komplek yang melibatkan potensi fisik dan mental. Dalam aktifitas ini sangat
mungkin terjadi kesalahan dalam menafsirkan. Adanya perbedaan bahasa yang
digunakan pada setiap masyarakat, keikutsertaan emosional yang menyertai
ungkapan dalam sebuah bahasa, juga merupakan kendala penafsiran, sebab ungkapan
yang sama bentuknya, bisa berbeda maksudnya. Contoh, orang ‘mengaduh’ bisa juga
ditafsirkan karena ia sakit. Atau bermaksud menyayangkan sesuatu terjadi pada
anak kecil yang berbuat salah, jika kata ‘aduh’ diungkapkan oleh seorang ibu.
Begitu juga senyum bisa berbeda-beda maksudnya. Orang terseyum dapat
difatsirkan karena seseorang sedang merasa senang, menghina atau bisa jadi
untuk menutupi rasa malunya karena ketahuan salahnya.
Perumpamaan lain misalnya kehadiran teks kitab suci yang hadir
sebagai petunjuk umat manusia, juga merupakan sebuah tanda (ayat Tuhan) yang
jadi obyek kajian penafsiran. Kitab Al Qur’an misalnya adalah ‘Teks’ sekaligus
tanda firman Tuhan dalam bahasa Arab yang harus difahami umat islam. Ia hadir
ketengah umat islam secara historis dari Allah SWT. Disampaikan oleh Malaikat
Jibril kepada Muhammad dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Dari kesekian kitab suci yang ada, Al qur’an lah yang lebih tanggu dalam menjaga
keorsinilannya, memberi tantangan kepada umat islam untuk mengkajinya dan nampaknnya
tidak ada kitab suci setangguh dia. Al – Qur’an
bagaikan magnet yang menarik setiap orang untuk mengkajinya tetapi
sekaligus bagaikan ledakan yang menebarkan berbagai karya-karya dari hasil
pembacaan terhadap dirinya. Terlepas dari kelebihan tersebut apakah pemahaman terhadap pesan-pesan tuhan
sudah tepat sasaran sesuai dengan maksud Tuhan atau bahkan pemahaman terhadap
al-Quran menjauh dari maksud sebenarnya dari irodah–maqosid Allah sang pemilik
kitab suci ini ?, ini merupakan masalah penafsiran dan lebih khusus masalah
hermeneutika.
Berangkat dari permasalahan
dalam dialog antar manusia atau dialog antara manusia dengan tanda-tanda, ataupun keberadaan al Qur’an sebagai
sebuah teks suci dan pesan dari Allah, hermeneutika dijadikan sebagai
tren baru dalam berdialog dengan kitab suci. Dan nampaknya Abu Zayd memahami
bahwa al Qur’an perlu didekati dengan hermeneutika, karena sesuai sifat
hermeneutika, ia menganggap al Qur’an hadir di tengah masyarakat tidak lepas
dari realitas masyarakat Arab waktu itu sebagai seting sosial yang melatar belakangi al Qur’an ‘harus’ turun. Dalam hal ini al Qur’an turun kebumi
satu sisi semacam ‘dipaksa turun oleh relaitas masyarakat Makkah’, dan pada
sisi lain ‘menghendaki turun‘ untuk dilihat sebagai sebuah tanda yang hendak
mengubah realitas masyarakat yang telah rusak.[9]
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral
dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan
perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu
dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah
umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun
NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada
dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal ini dapat
dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun
lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu
adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan
manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan,
maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti
apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin
menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan
tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa
hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati,
dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang
sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan
tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang sangat luas dalam
rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena
berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah
Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an
yang sangat universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah
berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha
menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang
berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti
problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks
tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem
penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Tawaran Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat
relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi
(ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari
pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang
diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita
pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh
dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka,
teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan cocok
dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan hidup.
Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem
hermeneutika adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an,
disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana
psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks tersebut. Atau dengan kata
lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas seorang ahli
bahasa dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana.
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika
memakai metode hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa
dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga
komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika memahami teks
Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan dimensi yang
lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh
Gadamer, akan terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak
terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsir tidak mungkin
disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi
dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya.
Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan
otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan
akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-Qur’an dan
tradisi kenabian tidak pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan
metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman
meskipun belum secara langsung menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsirnya,
namun ia telah memberikan bobot besar pada kontekstualitas. Belum tuntasnya
penggunaan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an itu justru merupakan kelemahan
Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk mencapai tujuan dasarnya, yaitu
mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, memahami pesan Al-Qur’an
secara adikuat dan efektif, pemahaman secara menyeluruh terhadap perkembangan
kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per ayat, merupakan sebuah
kemutlakan.
III. PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
Kontroversi penggunaaan hermeneutika telah terjadi dikalangan umat
islam. Tapi bagaimana sebuah metodologi
baru dalam melihat hakikat ajaran agama dengan cara berbeda menimbulkan kontroversi itulah yang perlu
mendapatkan pemahaman mendalam agar
nalar berfikir, baik pihak yang pro maupun yang kontra, bisa lebih arif dan
tidak melontarkan ‘vonis’ yang berat dihadapan Tuhan. oleh karena itu pada
bagian ini penulis hendaknya mekanisme
pemikiran Abu Zyad ketika mengkaji al Qur’an dengan hermeneiutika, yang tentu
saja dengan sikap ‘netral’ sebagai seorang Akademik.
Sebagaimana sifat dari
hermeneutika, melihat suatu teks yang hadir dalam masyarakat tidak lepas dari
realitas masyarakat, maka al Qur’an pun juga dilihat secara demikian. Abu Zayd menganggap proses turunnya al Qur’an berkait erat dengan
situasi sosial masyarakat Makkah waktu
itu. Berikut ini beberapa hasil thesis
yang ia lontarkan dari hasil
kajiannya terhadap al-Qur’an dengan metode hermeneutika dan kritikannya
terhadap ‘ulum al Qur’an secara sampling saja.
Thesis pertama, berkaitan dengan proses turunnya wahyu yang
diterima oleh nabi Muhammad SAW. Masyarakat Makkah memiliki keyakinan bahwa seseorang
sangat mungkin untuk berdialog dengan makhluk ghoib, sebagaimana seorang penyair
yang dapat melakukan dialog dengan jinnya yang membacakan sair-sairnya. Demikian
juga juru ramal ( dukun) dapat melihat
apa apa yang akan terjadi karena memiliki kemampuan berdialog dengan jin,
sehingga ia bisa mengatakan kepada orang lain sesuatu yang akan terjadi,
terlepas akan terjadi betulan atau tidak. Menurut Abu Zayd kepercayaan
masyarakat inilah yang memungkinkan konsep wahyu dapat diterima mereka.
Fenomena wahyu bertumpu pada konsep yang mengakar dalam budaya. Yang membedakan
hanyalah, kalau ramalan seorang dukun diperinta oleh Jin, sedangakn wahyu
diterima oleh seorang Nabi diperantai oleh Malaikat. Dan keduanya (Jin dan
Malaikat) sama-sama makhluk ghoib yang dipercayai oleh orang Arab.[10]
Dalam hal ini bisa dikatakan Abu Zayd
melihat pemahaman yang diperoleh oleh masyarakat Mekkah tentang wahyu
berdasarkan hermeneutika Hans-Geoge Gadamer. Menurut Gadamer proses mengerti
didapat jika sebelumnya manusia memiliki pra pengertian.[11]
Thesis kedua, berkaitan dengan keberadaan penerima wahyu pertama
yaitu, Nabi Muhammad. Menurut Abu Zayd
keberadaan Nabi Muhammad sebagai nabi penerima wahyu pada hakikatnya
tidak berbeda dari beberapa orang yang mencoba mencari kebenaran ajaran yang
sesunguhnya setelah melihat realitas kebobrokan perilaku masyarakatnya. Gerakan
pemikiran ini menurut Abu Zayd adalah meanstreem dari upaya mencari Agama yang hanif. Mereka mengembara dalam
melihat ajaran agama, terutama Agama para Ahli Kitab. Mereka diantaranya adalah
Waraqah Bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Usman bin al Khuwairis, Zaid bin harist
bin naufal. Agama yang hanif pada kenyataannya adalah agama Ibrahimiy. Pencarian
agama Ibrahimiy ini pada hakekatnya proses pencarian identitas bangsa Arab yang
terancam oleh kekuatan-kekuatan dari luar yakni kekuatan dari Byzantium dari
barat dan utara, kekuasaan Abraha dari arah selatan di Yaman dan kekuatan Kisra
penguasa kerajaan Persia di belah timur. Diantara orang-orang yang berada dalam
meanstreem gerakan keagamaan itu, Rasulullah Muhamadlah yang dipilih oleh Tuhan
untuk menjadi penyampai ajaran agama hanif yakni Agama ibrahimy. Dengan
demikian pengangkatan Muhammad sebagai
Nabi bukan hal yang terjadi tanpa sebab sosial, namun bersambung dengan
realitas sosial dimana ia hidup dan berkehendak terhadap kekuatan perubahan,
sekaligus menjadi jawaban baginya tentang kebenaran yang ia cari.[12]
dalam hal ini Abu Zayd dapat dikatakan merujuk pada hermeneutika Wilhelm
Dilthey bahwa pengalaman didapat jika manusia bisa mengkontruksikan apa yang ia
peroleh dalam realitas sosial melalui tiga kategori yaitu nilai, maksud dan
makna.[13]
Thesis Ketiga, kriteria-kreteria perbedaan antara surat Makkiyah
dengan Madaniyah. Menurut Abu Zayd kriteria perbedaan antara Makkiy dan
Madany yang dijelaskan oleh ulama’ salaf tidak kuat dan banyak
dijumpai kelemahan yakni perbedaan yang mereka buat hanya berdasarkan tempat
turunnya surat saja.[14] Karena,
menurut Abu Zayd ayat yang turun setelah hijrah ada juga yang diturunkan di
Makkah, dan lebih bernuansa kerisalahan dan hukum. Dan juga sebaliknya. Menurut
Abu Zayd perbedaan seharusnya didasarkan pada realitas dimana surat itu turun.
Perbedaan Makky dan Madaniy adalah berdasarkan kondisi sosial masyarakat
sebagai sasaran wahyu. Surat-surat Makky bersifat Indzar (peringatan) sedangkan
Madaniy bersifat risalah (pesan atau
ajaran). Makky bersifat indzar sebab jika dilihat kondisi sosial masyarakat
Makkah yang rusak secara moral dan akidah membutuhkan wahyu yang bersifat memberi peringatan dan sekaligus ancaman
terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan. Sedangakan Madaniy lebih bersifat
risalah karena Muhammad setelah hijrah ke Madinah perlu menata kondisi sosial
masyarakat yang sudah bisa dikendalikan dalam sebuah system struktur masyarakat
Madinah.[15]
Pemahaman Abu Zayd seperti ini dapat difahami dalam hubungannya dengan
hermeneutika F.D.E Scheleirmacher yakni ‘ bahasa’ (baca:,Teks ) lahir tidak
lepas dari dua unsur waktu dan tempat.[16]
Thesis Keempat, berkaitan dengan konsepAsbab An-Nuzul. tahap awal
Abu Zayd mengkritik ulama’-ulama’ salaf yang mengatakan bahwa sebab-sebab
turunnya wahyu didasarkan pada sanad
dalam periwayatan hadist dari sahabat tentang mengapa surat-surat al Qur’an turun. Apabila konsep
ini diterapkan maka mereka pada hakikatnya terjebak dalam faktor eksternal
saja. Belum lagi persoalan bahwa tidak memungkinkan setiap surat diketahui secara
keseluruhan sebab-sebab turunnya wahyu oleh para sahabat, sebagai mana
prasyarat yang mereka buat bahwa Hadist menerangkan itu haruslah mutawatir.
Faktor tempat, kelupaan pada diri sahabat-sahabat dan juga faktor ‘idelogi’
juga sangat berperan dalam membentuk keterangan yang sangat mungkin menyimpang
dan tidak sesuai sama sekali dengan faktor hakiki turunnya sebuah surat.
Menurut Abu Zayd dalam hal ini ulama kontemporer justru punya kesempatan untuk
menikmati hak berjihad dan mentarjih riwayat-riwayat yang berbeda dengan cara yang lebih signifikan. Asbab tidak mesti didasarkan pada
faktor eksternal saja tetapi juga harus diungkap maksud dari dalam teks surat itu sendiri, yakni dari
dalam. Pengungkapan tidak mesti berjalan dalam satu arah tetapi dari luar kedalam,
atau dari dalam keluar, tetapi harus berjalan dalam gerak ulang-alik secara cepat
antara dalam dan luar’[17].
Dalam konteks ini Abu Zayd lebih mengacu pada hubungan ‘batin bahasa’ dengan
realitas eksternal. Merupakan gabungan dari hermeneutika dilthey-gadamer dengan
Scheirmacher.
Adapun konsep Naskh dan Mansukh merupakan perkara yang tidak dapat
dipisahkan dari konsepAsbab An Nuzul. Sebab suatu naskh terjadi juga berkaitan
dengan sebab turunnya ayat tertentu. Pembatalan sebuah hukum syara’ ataupun
penangguhannya berkaiatan dengan sebab
sebabnya.[18]
Menurut Abu Zayd, Al Qur’an sebagai teks memiliki mekanisme sendiri. Sebagai
wujud teks dalam masa Al Qur’an turun, keberadaan teks mendominasi eksistensi
budaya. Dalam situasi semacam ini, tentu saja untuk mewujudkan sebuah ‘daya
perubah yang melemahkan’ tidak dapat diwujudkan
jika daya itu dapat difahami oleh nalar masyarakat.
Merubah sebuah realita sosial yang rusak, mengharuskan al-Qur’an
‘menghancurkan’ dominasi budaya Arab, yakni budaya teks, kelebihan al-Qur’an
inilah yang menempatkannya, dari posisi pendatang baru, selanjutnya menjadi
‘imam’ dari teks-teks (syair puisi saj’). Teks-teks yang lain bukan
terhancurkan musnah-menghilang namun beruba menjadi ‘peng-amien’ apa yang
dikatakan al-Qur’an. Dalam bentuknya sebagai teks, al-Qur’an bukan puisi, syair
maupun saj’. Al qur’an adalah al-Qur’an sebagai wahyu. Inilah konsep I’jaz
al-Qur’an.[19]
I’jaz al-Qur’an memiliki kekhasan sendiri berbeda dengan kemu’jizatan yang
dibawah oleh nabi-nabi selain Muhammad SAW. Karena yang harus dikalahkan oleh
al-Qur’an adalah apa yang diunggulkan masyarakat ‘Arab.mYakni budaya teks dan
bukannya keajaiban sebuah tongkat milik nabi Musa As. Kepandaian mengobati
orang sakit seperti nabi Isa As. atau tidak terbakar sebagaimana Nabi Ibrahim
dibakar oleh raja Namrud.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pemikiran Abu Zayd, secara metodologi dapat diringkas
bahwa hakikat hermeneutika ketika diterapkan untuk mengkaji al Qur’an sebagai
sebuah teks memiliki dasar budaya yang kuat pada masyarakat Mekkah sebagai
penerima wahyu pertama. Indikatornya adalah :
1. Al Qur’an sebagai wahyu dapat diterima oleh orang ‘Arab karena
mereka sebelumnya telah memiliki konsep ‘wahyu’ dan kepercayaan bahwa seseorang
mampu berdialog dengan ‘makhluk ghoib’.
2. Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, pada dasarnya mengakar
pada pergaulan ditengah masyarakatnya bukan orang yang memisahkan diri yang lainnya.
Namun, demikian beliau terjaga dari
perilaku masyarakat Makkah yang rusak. Dalam melihat realitas semacam itulah
Nabi sebagai bagian masyarakat melihat sisi yang ‘harus’ dirubah.
3. Proses pewahyuan kepada Nabi Nuhammad haruslah difahami sebagai
interaksi ‘Teks’ dengan realitas masyarakat. Konsep Makky dan Madani tidak
cukup dikatagorikan berdasarkan masa sebelum dan sesudah hijrah.
4. Sebab sebab turunnya Al Qur’an tidak cukup hanya berdasarkan
kronologis periwayatan berdasarkan faktor eksternal saja namun harus ada
keterkaitan antara ‘dalam’ dan ‘luar’ teks secara ulang-alik.
5. Keberadaan al Qur’an sebagai teks dalam budaya yang terdominasi
tradisi teks juga harus difahami sebagai teks
yang sekaligus berbeda dengan teks-teks yang lain. Al Qur’an adalah
dirinya sendiri, meskipun ia juga teks. Sedangkan tek-teks yang lain telah
terkalahkan, namun bukan termusnahkan telah menjadi semacam pendukung, penguat
keberadaan teks al Qur’an. Teks-teks
dalam bentuk syair, puisi, saj’ telah merobah diri dihadapan al Qur’an. Ketika
teks teks itu hendak menetapkan diri sebagai bagian dari tradisi lama sebelum
lama sebelum al Qur’an turun maka teks-teks itu mengalami kehancuran.
DAFTAR PUSTAKA
MuslimDelft
[blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember
2008.
Shalahudin,
Henri, Al Qur’an Digugat, Al
QALAM Kelompok GEMA INSANI: Jakarta, 2007
Zaid, Abu, al-Tafkir
fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah, Maktabah
Madbuli: Mesir, 2003.
Moch Nor,
Ichwan Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori Hermeneotika Nasr Abu
Zaid,Cet. I, Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003).
Raharjo, Mudjia
Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian, Arruz
Media: Jogjakarta, 2008.
Sumaryono, E, Hermeneutika
Sebuah Metode Filsafat, Pustaka Filsafat: Yogjakarta.
Hidayat,
Komarudin, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, Paramadina
Press: Jakarta, 1996.
Bertens, Karl Berl, Filsafat barat dalam abad XX, Gramedia:
Jakarta, 1981.
Berg, Green, Essays In Lingusitics, Phoenik Books: Cicago,
1957.,
Ibrahim, Abd. Syukur, Sosiolinguistik, Usaha Nasional, 1995.
Nasution, Khoirudin, Pengantar Studi Islam,TAZZAFA-ACADEMIA:
Yogyajarta, 2004.
Zayd, Nasr
Hamid Abu, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al Qur’an, tejm,
LkiS: Yogjakarta, 2005, cet. IV.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an,
Pustaka setia: Bandung, 2006, cet. V.
[1] MuslimDelft
[blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember
2008.
[2] Henri Shalahudin, Al Qur’an Digugat, (Al QALAM Kelompok
GEMA INSANI: Jakarta, 2007), Bab III, h. 1-4., lihat juga Abu Zaid, al-Tafkir
fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah, (Maktabah
Madbuli: Mesir, 2003), cet. II, h. 21., juga Ichwan Moch Nor, Meretas
Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori Hermeneotika Nasr Abu Zaid,Cet. I,
(Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003), h. 193-194., dan beberapa keterangan
yang diambil dari web.sit. Muslim Delft [Blog Archive] Kisah Intelektual Nasr
Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.
[3] Shalahudin, Al
Qur’an, h. 5-7.
[4] Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme
& Gadamerian, (Arruz Media: Jogjakarta,2008), h. 27., lihat juga, E.
Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Pustaka Filsafat:
Yogjakarta), h. 23., pengertian ini tapi Agak berbeda dengan yang disampaikan oleh Komarudin
Kidayat, menurutnya hermeneutika meruapakan definisi dari kata ‘Hermes’,
seorang dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas penghubung antara sang maha dewa dilangit dan
para manusia di bumi. Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, sebuah
kajian hermeneutic, (Paramadina Press: Jakarta, 1996), h. 13., dan Karl Berl
Bertens, Filsafat barat dalam abad XX, (Gramedia: Jakarta, 1981), h.
225., menurutnya kata hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari kata
kerja Yunani hermeneo: mengartikan, menginterprestasikan, menafsirkan,
menterjemahkan.
[5] Ibid., h.24-26., namun harus dimengerti bahwa hermeneutika
juga bersifat memahami apa yang hadir pada masa ‘lalu’, ’terjadi sekarang’ dan
‘masa depan’, jika kita dasarkan pada kategori yang dibuat oleh Wilhelm
dilthey. Atau hermeneutika sebagai ‘seni berfikir dan berbicara hanya merupakan
aspek luar dari berfikir’, sebagaimana pendapat FDE Schelairmacher atau menurut
Hans George bahwa ‘mengerti’ haruslah berangkat dari pengertian sebelumnya (pra
pengertian) hermeneutika bekerja secara maksimal jika seorang filosof berusaha
mengerti berangkat dari pengertian yang telah ia miliki sebelumnya, untuk lebih
lengkapnya baca rujukan footnote makalah ini, Ibid., h. 35-128., dan
juga Bertens, filsafat, h. 85-89 dan 224-235.
[6] Green berg, Essays In Lingusitics, (Phoenik Books: Cicago,
1957), h. 1., lihat juga Abd. Syukur Ibrahim, Sosiolinguistik, (Usaha
Nasional, 1995), h. 26., Batasan yang diberikan oleh grendberg ini bisa
difahami bahwa bahasa yang terbentuk dalam suatu masyarakat menjadi semacam
symbol atau tanda yang disepakati dan diwariskan sehingga warga masyarakat yang
menggunakan menjadi menyatu (terinternalisasi) dan memahami setiap kode atau
informasi dengan perantaraan bahasa berlaku, sekaligus bahasa tersebut menjadi
atribut budaya masyarakat tersebut.
[7] Sumaryono, Hermeneutika,
h.25.
[8] Hidayat, Memahami,
h.12.
[9] Perlu difahami bahwa yang menerapkan hermeneutika dalam mengkaji
al-Qur’an sebenarnya bukan hanya Abu Zayd saja. Para sarjana lain yang
menerapkan hermeneutic diantaranya: Fazlur rahman (dalam karyanya “Interpleting
the Qur’an“), Amin Muhsin Wadud (Qur’an and Women), dan masih ada beberapa lagi
yang juga menerapkannya, lihat Dr. Khoirudin Nasution, Pengantar Studi
Islam, (TAZZAFA-ACADEMIA: Yogyajarta, 2004), h. 82.
[10] Nasr Hamid Abu Zayd, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap
Ulum Al Qur’an, tejm, (LkiS: Yogjakarta, 2005), cet. IV, h. 32-41. Dalam
menerangkan analisisnya Abu Zayd banyak menukil pendapat
Abdur Rohman Jalaluddin as Suyuti, Al Itqon fi Ulum al Qur’an,
juz 1, Badrudin Muhamad bin Abdillah az Zarkasy, Al Burhan fi Ulum al
Qur’an, juz 1, Abdur Rohman ibnu
Kaldun, Muqodimah, Dar ihya’ al Turast al Arabic, (Beirut, Libanon).
[11] Bertens, filsafat,
h. 226.
[12] Zayd, Tektualitas, h. 65-85.
[13] Bertens, filsafat,
h. 89.
[14] Mengenahi
pendapat para ulama’ tentang definisi Makkiy dan Madaniy lihat Rosihon Anwar, Ulumul
Qur’an, (Pustaka setia: Bandung, 2006),
cet. V, h. 104.
[15] Zayd, Tektualitas, h. 88-95.
[17] Ibid.,
h. 130-135.
Top 10 Best Casino Sites in India (2021) - KTM Hub
ReplyDeleteThere 사천 출장샵 is a whole range 진주 출장마사지 of popular 경상남도 출장마사지 casino sites online with players from india and around the world. Best for Indian players. Top 10 문경 출장마사지 India casinos 여주 출장마사지
kr548 fake designer bags hj586
ReplyDelete