Wednesday, March 11, 2015

MAKALAH NASIR HAMID ABU ZAYD

Copy Paste Jangan Lupa Sertakan Link/Url nya Ya....!!!!!!!
Atau Share Karena Berpahala....!!!!!
BAB II
PEMBAHASAN

I. BIOGRAFI NASIR  HAMID ABU ZAYD
Gambaran riwayat hidup Nasr Abu Zayd sebagaimana diungkapkan oleh Henri Shalahuddin sebagai berikut:
Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir. Pada usia 8 tahun  dia sudah berhasil menghafal Al–Qur’an 30 Juz seperti kebanyakan anak-anak muslim dinegaranya. Pendidikan tingginya, mulai dari strata satu, dua dan tiga  dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo dengan predikat highst honour, ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institut Midle Eastren Studies, Universitas Pensylvania, Philadelphia, USA. Di universitas ini  dia mempelajari Folklore dan metodologi kajian lapangan ( fieldwork).
Pada tahun 1992 Abu Zayd menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat usianya  menginjak 49 tahun. Kemudian ditahun yang sama  dia mengajukan karya-karya  untuk dipromosikan  mendapatkan gelar professor penuh fakultas sastra Universitas Kairo. Diantara sejumlah karyanya  yang diajukan adalah Naqdu Al Khitab Al-Dini yang diterbitkan  pertama kalinya  pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit didunia islam. Namun ditahun itu juga dimulailah “kasus Abu Zayd” dipersidangan yang berakir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995.
Dalam putusan  di pengadilan, kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh Abu Zayd disimpulkan dengan istilah “10 DOSA BESAR ABU ZAYD: ABU ZAYD’S TEN  BIG   SIN OR MISTAKES”,  sebagai  berikut:
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam Al Qur’an seperti ‘Arsy, Malaikat, Syaitan, Jin, Surga dan Neraka adala ‘MITOS BELAKA’.
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘Prodak Budaya’ (muntaj tsaqofi) dan karenanya mengingkari status azali al Qur’an sebagai Kalamullah  yang telah ada dalam Al Lawh al Mahfudz.
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘teks linguistik’ (nashsh lughawi ) ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al Qur’an adalah karangan beliau.
4. Berpendapat dan mengatakan  bahwa ilmu-ilmu al Qur’an ( ‘Ulum al Qur’an )  adalah tradisireaktioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah faktor penyebab kemuduran Umat Islam.
5. Berpendapat dan mengatakan  bahwa Iman  kepada perkara-perkara ghoib  merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah Agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al Qur’an  yang ada merupakan versi ‘Quraiys’ dan itu sengaja  demi mempertahankan supremasi suku Quraiys.
8. Mengingkari otentisitas Rasulullah SAW.
9. Mengingkari dan mengajak  orang keluar dari dari otoritas teks-teks Agama (maksudnya: al Qur’an dan Hadist).
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks Agama adalah salah satu bentuk perbudakan.[1]
Sehingga karya-karyanya dinilai kurang bermutu  dan promosinya pun ditolak bahkan dinyatakan menyimpang  dan merusak karena isinya  melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah SAW, menodai Al-Qur’an dan menghina ulama’ salaf. Profesor ‘Abdul Sabur Shahin’, dalam khotbahnya di Masjid “Amru bin “Ash menyatakan bahwa Abu Zayd  adalah murtad.
Setelah  mengaku adanya ancaman mati dari berbagai pihak, pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan istrinya  memutuskan untuk hengkang  dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang. Menariknya justru di negeri Belanda inilah Abu Zayd justru mendapatkan sambutan hangat dan perlakukan istimewa dan dihormati sebagai ilmuwan besar dalam bidang Studi Al Qur’an, dianugrahi  gelar Profesor dibidang  bahasa Arab dan Studi islam dari Leiden University, sebuah Universitas kuno  yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan.
Saat ini dia menduduki “kursi  Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam”  di Universitas Utrech Belanda. Selain itu juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di  Leiden  dan aktif  terlibat dalam proyak riset tentang hermeneutika Yahudi  dan Islam sebagai ktitik cultural, bekerja pada team “ Islam dan Modernitas”  pada tahun 2005, dia menerima anugrah “The Ibu Rushd Prize Of Fredoom Thought’, sebuah  penghargaan  atas usahanya mengkapanyakan ‘Kebebasan berfikir‘ dari Mesir.
Dari sinilah dia justru berkesempatan mendidik sarjana dan dosen dari Indonesia. Kini sejumlah muridnya telah menempati pos- pos penting  di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Disamping itu pemikirannya pun telah banyak menarik perhatian dan bahkan diajarkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia.[2]
            Biografi Abu Zaid memberi gambaran kepada kita  bahwa pemikiran yang ia hasilkan memiliki relevansi dengan karya – karyanya. Hal ini bisa kita lihat dalam karya-karyanya, yang secara umum, menyorot tentang  studi Al Qur’an Karya–karya yang dihasilkan  Abu Zaid, dapatlah dipetakan sebagai berikut :
I. Karya-karya yang bertema Studi Al Qur’an.
1. Rasionalisme  dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah: Al Ittijah al-‘aqliyah fit Tafsir: Dirosah fi mafhum al majaz ‘inda al Mu’tazilah, Beirut, 1982.
2. Filsafat Hermenutika: Studi Hermeneutiika al Qur’an menurut Muhyidin ibn ‘Arabi ( Falsafat al Ta’wil al Qur’an ‘indi Muhyiddin inb Arabi, Beirut, 1983).
3. Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an ( Mafhum An Nashsh: Dirosah  fi ulumul Qur’an, Cairo, 1987).
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutika, (Isykaliyyat al Qiro’ah wa Aliyyat at Ta’wil, Cairo, 1992).
5.  Kritik Wacana Agama ( Naqd al-khitab ad diniy, 1992).
6. Imam Syafi’I dan Peletakkan Dasar Idiologi Tengah, (al Imam asy syafi’I wa Ta’sis Aidulujiyyat al wasathiyyah, Cairo 1992).
7. Al Ittijah Al ‘Aqli fi Al-Attafsir: Dirosah  fi Qodiyat al Majas fi al Qur’an “inda Mu’tazilah (Tren rasional dalam penafsiran: kajian dalam masalah  metafora dalam al Qur’an menurut Mu’tazilah).
8. Falsafah al’Takwil: Dirosah fi al Ta’wil ‘inda Muhyiddin ibnu ‘Arabi (Filsafat Hermeneutika: Kajian Hermeneutika  dalam al–Qur’an  Ibnu ‘Arabi).
9. ‘Ilmi Al-‘Alamat (Sistem Isyarat).
10. Retinhking the Qur’an: Toward Humanistics Hermeneutics.
II. Karya yang bertemakan tentang wacana kemodernan, kajian tokoh klasik dan politik yaitu:
1. Imam Al-Shafi’I wa Ta’sis Al-Aydulujiya al-Wasitiyah.
2. Naqdu Al-Kitab Al-Din (Kritik  wacana keagamaan).
3. Al Mar’ah fi Khitab al Azmah (Wanita dalam wacana krisis).
4. Al- Tafkir fi zamani al tafkir didu al jahli wa al zaif wa al kharofat (Pemikiran didalam masa pengafiran melawan kebodohan dan khufarod).
5. Al Khilafah wa Sultah al Umah (Khilafah dan penguasah Umat).
6. An Nass wa Sulton wa al Hakikah: Irodatu al Ma’rifah wa Irodatun al Haymanah (Teks kekuasaan, relaita: kelendak  ilmu  pengetahuan dan Hegemonia  kekuasaan).
7. Dawairul Khouf: Qiro’ah fi Khitabi al Ma’a (lingkaran ketakutan: pembacaan wacana wanita).
8. Al khitab wa al Ta’wil (Wacana dan hermeneutika).
9. Hakadza Takallama ibnu ‘Arobiy (seperti inilah  ibnu ‘Arobi berbicara).
10. Voice of an exile  (Suara dari pengasingan). Ditambah beberapa artikel  dalam bahasa Inggris yang melengkapi pengembaraan intelektual Abu Zayd dalam bidang keilmuan keislaman dan humaniora. Dan tidak bisa dipisahkan pengembaraan intelektualnya dengan kedekatannya terhadap hermeneutika.[3]
            Namun  demikian  yang terpenting  dalam memahami intelektualitas Abu Zayd dalam keseluruhan karyanya adalah keinginan nalar akademik relejinya untuk membangun  ‘kesadaran ilmiyah’ bahwa agama islam harus difahami sebagai suatu yang tidak sekedar normatif tetapi sesuatu yang terbuka  untuk ditelaah secara ilmiah. Terutama masalah tradisi yang tidak perlu dipuja-puja seolah-olah terlindungi oleh dinding anti kritik (status quo) dan menutup adanya kemungkinan  berijtihad.
II. HERMENEUTIKA, METODE TAFSIR
Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan “. Maka kata benda hermeneiasecara  harfiyah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau Interpretasi.[4] Jika dikaitkan dengan cerita Hermes sebagai simbol seorang duta penerima pesan yang harus mampu menginterprestasikan  pesan yang ia terima dari dewa Jupiter maka hermeneutic pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Dalam wilayah yang lebih aplikatif pada dasarnya hermeneutika berhubungan dengan bahasa.[5]
Bahasa merupakan media perantara komunikasi manusia, pada hakikatnya bahasa dianggap sebagai ‘suatu sistem tanda yang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang membentuk tatabahasanya, yakni sebagai kode murni atau system komunikasi, atau sebagai seperangkat pola tingka laku yang telah ditransmisikan secara kultural dan dipakai oleh sekelompok individu, yakni kode sebagai bagian dari kebudayaan‘.[6] Bahasa  muncul dari  pengalaman mental yang terproduksi  dalam fikiran manusia yang kaya akan warna, imajinasi dan khayalan. Namun ketika produk dalam fikiran ini tertuang dalam bentuk bahasa lisan berupa ungkapan akan mengalami penyempitan atau pengkerutan. Lebih menyempit lagi apabila apa yang terproduksi dalam fikiran ini tertuang dalam bentuk bahasa tulis berupa kata-kata.[7] Penyempitan yang terjadi dalam bahasa manusia tersebut menghasilkan suatu produk yang tereduksi, berbeda-beda dan bahkan tidak lengkap bentuk pengungkapannya dalam wilayah komunikasi, dibandingkan dengan proses yang terjadi dalam fikiran, sehingga sangat memungkinkan terjadi kesalahfahaman, kekurangfahaman oleh penerima informasi ketika menerimanya dari pemberi informasi. Lebih parah lagi apabila kekeliruan pemahaman, penerima informasi disampaikan kepada orang ketiga yang tidak tahun sama sekali proses dialog. Maka muncullah ‘lingkaran kesalahfaman‘ dalam komunikasi.
Pada hakekatnya, komuninasi bukan hanya terbatas antara dua individu yang berdialog. Setiap orang yang membaca apa yang ada disekelilingnya sebenarnya tanpa sadar telah melakukan dialog. dari sudut semiologi, apapun yang kita jumpai disekeliling kita adalah teks yang bisa kita baca dan tafsirkan.[8] Teks adalah sebuah tanda atau symbul ( icon). Tanda sekaligus juga memeberi tanda dari sesuatu yang ditandai (pesan yang tersimpan) ataupun pencipta tanda. Dalam hal ini, timbul pertanyaan apa fungsi dari tanda tersebut ?,  Apa peran serta maknanya ?, tanda dalam hati ini dapat difungsikan pada dua sisi  yang berbeda perannya. Satu sisi, tanda berperan sebagaisubyek ketika ia menyampaikan suatu pesan kepada orang yang membacanya. Satu sisi lain, ketika tanda dibaca maka tanda berperan sebagaiobyek baca yang difahami maksud pesannya. Dengan demikian tanda memiliki  peran ganda dalam aktifitas dialog yakni sebagai subyek sekaligus sebagai obyek. Dan ketika manusia membaca setiap tanda, pada hakikatnya dia telah melakukan proses penafsiran.
Penafsiran bukan perkara sederhana, tetapi merupakan aktifitas komplek yang melibatkan potensi fisik dan mental. Dalam aktifitas ini sangat mungkin terjadi kesalahan dalam menafsirkan. Adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada setiap masyarakat, keikutsertaan emosional yang menyertai ungkapan dalam sebuah bahasa, juga merupakan kendala penafsiran, sebab ungkapan yang sama bentuknya, bisa berbeda maksudnya. Contoh, orang ‘mengaduh’ bisa juga ditafsirkan karena ia sakit. Atau bermaksud menyayangkan sesuatu terjadi pada anak kecil yang berbuat salah, jika kata ‘aduh’ diungkapkan oleh seorang ibu. Begitu juga senyum bisa berbeda-beda maksudnya. Orang terseyum dapat difatsirkan karena seseorang sedang merasa senang, menghina atau bisa jadi untuk menutupi rasa malunya karena ketahuan salahnya.
Perumpamaan lain misalnya kehadiran teks kitab suci yang hadir sebagai petunjuk umat manusia, juga merupakan sebuah tanda (ayat Tuhan) yang jadi obyek kajian penafsiran. Kitab Al Qur’an misalnya adalah ‘Teks’ sekaligus tanda firman Tuhan dalam bahasa Arab yang harus difahami umat islam. Ia hadir ketengah umat islam secara historis dari Allah SWT. Disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Muhammad dengan cara berangsur-angsur  selama kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari. Dari kesekian kitab suci yang ada, Al qur’an lah yang lebih tanggu dalam menjaga keorsinilannya, memberi tantangan kepada umat islam untuk mengkajinya dan nampaknnya tidak ada kitab suci setangguh dia. Al – Qur’an  bagaikan magnet yang menarik setiap orang untuk mengkajinya tetapi sekaligus bagaikan ledakan yang menebarkan berbagai karya-karya dari hasil pembacaan terhadap dirinya. Terlepas dari kelebihan tersebut  apakah pemahaman terhadap pesan-pesan tuhan sudah tepat sasaran sesuai dengan maksud Tuhan atau bahkan pemahaman terhadap al-Quran menjauh dari maksud sebenarnya dari irodah–maqosid Allah sang pemilik kitab suci ini ?, ini merupakan masalah penafsiran dan lebih khusus masalah hermeneutika.
Berangkat dari permasalahan  dalam dialog antar manusia atau dialog antara manusia  dengan tanda-tanda, ataupun  keberadaan al Qur’an  sebagai  sebuah teks suci dan pesan dari Allah, hermeneutika dijadikan sebagai tren baru dalam berdialog dengan kitab suci. Dan nampaknya Abu Zayd memahami bahwa al Qur’an perlu didekati dengan hermeneutika, karena sesuai sifat hermeneutika, ia menganggap al Qur’an hadir di tengah masyarakat tidak lepas dari realitas masyarakat Arab waktu itu sebagai seting sosial  yang melatar belakangi al Qur’an ‘harus’  turun. Dalam hal ini al Qur’an turun kebumi satu sisi semacam ‘dipaksa turun oleh relaitas masyarakat Makkah’, dan pada sisi lain ‘menghendaki turun‘ untuk dilihat sebagai sebuah tanda yang hendak mengubah realitas masyarakat yang telah rusak.[9]
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang sangat luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an yang sangat universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Tawaran Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks tersebut. Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas seorang ahli bahasa dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana.
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika memakai metode hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan dimensi yang lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh Gadamer, akan terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya. Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-Qur’an dan tradisi kenabian tidak pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman meskipun belum secara langsung menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsirnya, namun ia telah memberikan bobot besar pada kontekstualitas. Belum tuntasnya penggunaan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an itu justru merupakan kelemahan Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk mencapai tujuan dasarnya, yaitu mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, memahami pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman secara menyeluruh terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per ayat, merupakan sebuah kemutlakan.
III. PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
Kontroversi penggunaaan hermeneutika telah terjadi dikalangan umat islam. Tapi bagaimana sebuah metodologi  baru dalam melihat hakikat ajaran agama dengan cara berbeda  menimbulkan kontroversi itulah yang perlu mendapatkan  pemahaman mendalam agar nalar berfikir, baik pihak yang pro maupun yang kontra, bisa lebih arif dan tidak melontarkan ‘vonis’ yang berat dihadapan Tuhan. oleh karena itu pada bagian ini penulis hendaknya  mekanisme pemikiran Abu Zyad ketika mengkaji al Qur’an dengan hermeneiutika, yang tentu saja dengan sikap ‘netral’ sebagai seorang Akademik.
Sebagaimana  sifat dari hermeneutika, melihat suatu teks yang hadir dalam masyarakat tidak lepas dari realitas masyarakat, maka al Qur’an pun juga dilihat secara demikian. Abu Zayd  menganggap proses  turunnya al Qur’an berkait erat dengan situasi sosial  masyarakat Makkah waktu itu. Berikut ini beberapa hasil thesis  yang ia lontarkan  dari hasil kajiannya terhadap al-Qur’an dengan metode hermeneutika dan kritikannya terhadap ‘ulum al Qur’an secara sampling saja.
Thesis pertama, berkaitan dengan proses turunnya wahyu yang diterima oleh nabi Muhammad SAW. Masyarakat Makkah memiliki keyakinan bahwa seseorang sangat mungkin untuk berdialog dengan makhluk ghoib, sebagaimana seorang penyair yang dapat melakukan dialog dengan jinnya yang membacakan sair-sairnya. Demikian juga  juru ramal ( dukun) dapat melihat apa apa yang akan terjadi karena memiliki kemampuan berdialog dengan jin, sehingga ia bisa mengatakan kepada orang lain sesuatu yang akan terjadi, terlepas akan terjadi betulan atau tidak. Menurut Abu Zayd kepercayaan masyarakat inilah yang memungkinkan konsep wahyu dapat diterima mereka. Fenomena wahyu bertumpu pada konsep yang mengakar dalam budaya. Yang membedakan hanyalah, kalau ramalan seorang dukun diperinta oleh Jin, sedangakn wahyu diterima oleh seorang Nabi diperantai oleh Malaikat. Dan keduanya (Jin dan Malaikat) sama-sama makhluk ghoib yang dipercayai oleh orang Arab.[10] Dalam  hal ini bisa dikatakan Abu Zayd melihat pemahaman yang diperoleh oleh masyarakat Mekkah tentang wahyu berdasarkan hermeneutika Hans-Geoge Gadamer. Menurut Gadamer proses mengerti didapat jika sebelumnya manusia memiliki pra pengertian.[11]
Thesis kedua, berkaitan dengan keberadaan penerima wahyu pertama yaitu, Nabi Muhammad. Menurut Abu Zayd  keberadaan Nabi Muhammad sebagai nabi penerima wahyu pada hakikatnya tidak berbeda dari beberapa orang yang mencoba mencari kebenaran ajaran yang sesunguhnya setelah melihat realitas kebobrokan perilaku masyarakatnya. Gerakan pemikiran ini menurut Abu Zayd adalah meanstreem  dari upaya mencari  Agama yang hanif. Mereka mengembara dalam melihat ajaran agama, terutama Agama para Ahli Kitab. Mereka diantaranya adalah Waraqah Bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Usman bin al Khuwairis, Zaid bin harist bin naufal. Agama yang hanif pada kenyataannya adalah agama Ibrahimiy. Pencarian agama Ibrahimiy  ini pada hakekatnya  proses pencarian identitas bangsa Arab yang terancam oleh kekuatan-kekuatan dari luar yakni kekuatan dari Byzantium dari barat dan utara, kekuasaan Abraha dari arah selatan di Yaman dan kekuatan Kisra penguasa kerajaan Persia di belah timur. Diantara orang-orang yang berada dalam meanstreem gerakan keagamaan itu, Rasulullah Muhamadlah yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi penyampai ajaran agama hanif yakni Agama ibrahimy. Dengan demikian pengangkatan Muhammad  sebagai Nabi bukan hal yang terjadi tanpa sebab sosial, namun bersambung dengan realitas sosial dimana ia hidup dan berkehendak terhadap kekuatan perubahan, sekaligus menjadi jawaban baginya tentang kebenaran yang ia cari.[12] dalam hal ini Abu Zayd dapat dikatakan merujuk pada hermeneutika Wilhelm Dilthey bahwa pengalaman didapat jika manusia bisa mengkontruksikan apa yang ia peroleh dalam realitas sosial melalui tiga kategori yaitu nilai, maksud dan makna.[13]
Thesis Ketiga, kriteria-kreteria perbedaan antara surat Makkiyah dengan Madaniyah. Menurut Abu Zayd kriteria perbedaan antara Makkiy dan Madany  yang dijelaskan  oleh ulama’ salaf tidak kuat dan banyak dijumpai kelemahan yakni perbedaan yang mereka buat hanya berdasarkan tempat turunnya surat saja.[14] Karena, menurut Abu Zayd ayat yang turun setelah hijrah ada juga yang diturunkan di Makkah, dan lebih bernuansa kerisalahan dan hukum. Dan juga sebaliknya. Menurut Abu Zayd perbedaan seharusnya didasarkan pada realitas dimana surat itu turun. Perbedaan Makky dan Madaniy adalah berdasarkan kondisi sosial masyarakat sebagai sasaran wahyu. Surat-surat Makky bersifat Indzar (peringatan) sedangkan Madaniy bersifat risalah  (pesan atau ajaran). Makky bersifat indzar sebab jika dilihat kondisi sosial masyarakat Makkah yang rusak secara moral dan akidah membutuhkan wahyu yang bersifat  memberi peringatan dan sekaligus ancaman terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan. Sedangakan Madaniy lebih bersifat risalah karena Muhammad setelah hijrah ke Madinah perlu menata kondisi sosial masyarakat yang sudah bisa dikendalikan dalam sebuah system struktur masyarakat Madinah.[15] Pemahaman Abu Zayd seperti ini dapat difahami dalam hubungannya dengan hermeneutika F.D.E Scheleirmacher yakni ‘ bahasa’ (baca:,Teks ) lahir tidak lepas dari dua unsur waktu dan tempat.[16]
Thesis Keempat, berkaitan dengan konsepAsbab An-Nuzul. tahap awal Abu Zayd mengkritik ulama’-ulama’ salaf yang mengatakan bahwa sebab-sebab turunnya wahyu  didasarkan pada sanad dalam periwayatan hadist dari sahabat tentang mengapa  surat-surat al Qur’an turun. Apabila konsep ini diterapkan maka mereka pada hakikatnya terjebak dalam faktor eksternal saja. Belum lagi persoalan bahwa tidak memungkinkan setiap surat diketahui secara keseluruhan sebab-sebab turunnya wahyu oleh para sahabat, sebagai mana prasyarat yang mereka buat bahwa Hadist menerangkan itu haruslah mutawatir. Faktor tempat, kelupaan pada diri sahabat-sahabat dan juga faktor ‘idelogi’ juga sangat berperan dalam membentuk keterangan yang sangat mungkin menyimpang dan tidak sesuai sama sekali dengan faktor hakiki turunnya sebuah surat. Menurut Abu Zayd dalam hal ini ulama kontemporer justru punya kesempatan untuk menikmati hak berjihad dan mentarjih riwayat-riwayat yang berbeda  dengan cara yang lebih  signifikan. Asbab tidak mesti didasarkan pada faktor eksternal saja tetapi juga harus diungkap maksud  dari dalam teks surat itu sendiri, yakni dari dalam. Pengungkapan tidak mesti berjalan dalam satu arah tetapi dari luar kedalam, atau dari dalam keluar, tetapi harus berjalan dalam gerak ulang-alik secara cepat antara dalam dan luar’[17]. Dalam konteks ini Abu Zayd lebih mengacu pada hubungan ‘batin bahasa’ dengan realitas eksternal. Merupakan gabungan dari hermeneutika dilthey-gadamer dengan Scheirmacher.
Adapun konsep Naskh dan Mansukh merupakan perkara yang tidak dapat dipisahkan dari konsepAsbab An Nuzul. Sebab suatu naskh terjadi juga berkaitan dengan sebab turunnya ayat tertentu. Pembatalan sebuah hukum syara’ ataupun penangguhannya berkaiatan dengan  sebab sebabnya.[18] Menurut Abu Zayd, Al Qur’an sebagai teks memiliki mekanisme sendiri. Sebagai wujud teks dalam masa Al Qur’an turun, keberadaan teks mendominasi eksistensi budaya. Dalam situasi semacam ini, tentu saja untuk mewujudkan sebuah ‘daya perubah yang melemahkan’ tidak dapat diwujudkan  jika daya itu dapat difahami oleh nalar masyarakat.
Merubah sebuah realita sosial yang rusak, mengharuskan al-Qur’an ‘menghancurkan’ dominasi budaya Arab, yakni budaya teks, kelebihan al-Qur’an inilah yang menempatkannya, dari posisi pendatang baru, selanjutnya menjadi ‘imam’ dari teks-teks (syair puisi saj’). Teks-teks yang lain bukan terhancurkan musnah-menghilang namun beruba menjadi ‘peng-amien’ apa yang dikatakan al-Qur’an. Dalam bentuknya sebagai teks, al-Qur’an bukan puisi, syair maupun saj’. Al qur’an adalah al-Qur’an sebagai wahyu. Inilah konsep I’jaz al-Qur’an.[19] I’jaz al-Qur’an memiliki kekhasan sendiri berbeda dengan kemu’jizatan yang dibawah oleh nabi-nabi selain Muhammad SAW. Karena yang harus dikalahkan oleh al-Qur’an adalah apa yang diunggulkan masyarakat ‘Arab.mYakni budaya teks dan bukannya keajaiban sebuah tongkat milik nabi Musa As. Kepandaian mengobati orang sakit seperti nabi Isa As. atau tidak terbakar sebagaimana Nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrud.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pemikiran Abu Zayd, secara metodologi dapat diringkas bahwa hakikat hermeneutika ketika diterapkan untuk mengkaji al Qur’an sebagai sebuah teks memiliki dasar budaya yang kuat pada masyarakat Mekkah sebagai penerima wahyu pertama. Indikatornya adalah :
1. Al Qur’an sebagai wahyu dapat diterima oleh orang ‘Arab karena mereka sebelumnya telah memiliki konsep ‘wahyu’ dan kepercayaan bahwa seseorang mampu berdialog dengan ‘makhluk ghoib’.
2. Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, pada dasarnya mengakar pada pergaulan ditengah masyarakatnya bukan orang yang memisahkan diri yang lainnya. Namun, demikian  beliau terjaga dari perilaku masyarakat Makkah yang rusak. Dalam melihat realitas semacam itulah Nabi sebagai bagian masyarakat melihat sisi yang ‘harus’ dirubah.
3. Proses pewahyuan kepada Nabi Nuhammad haruslah difahami sebagai interaksi ‘Teks’ dengan realitas masyarakat. Konsep Makky dan Madani tidak cukup dikatagorikan berdasarkan masa sebelum dan sesudah hijrah.
4. Sebab sebab turunnya Al Qur’an tidak cukup hanya berdasarkan kronologis periwayatan berdasarkan faktor eksternal saja namun harus ada keterkaitan antara ‘dalam’ dan ‘luar’ teks secara ulang-alik.
5. Keberadaan al Qur’an sebagai teks dalam budaya yang terdominasi tradisi teks juga harus difahami sebagai teks  yang sekaligus berbeda dengan teks-teks yang lain. Al Qur’an adalah dirinya sendiri, meskipun ia juga teks. Sedangkan tek-teks yang lain telah terkalahkan, namun bukan termusnahkan telah menjadi semacam pendukung, penguat keberadaan  teks al Qur’an. Teks-teks dalam bentuk syair, puisi, saj’ telah merobah diri dihadapan al Qur’an. Ketika teks teks itu hendak menetapkan diri sebagai bagian dari tradisi lama sebelum lama sebelum al Qur’an turun maka teks-teks itu mengalami kehancuran.



DAFTAR PUSTAKA
MuslimDelft [blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.
Shalahudin, Henri,  Al Qur’an Digugat, Al QALAM Kelompok GEMA INSANI: Jakarta, 2007
Zaid, Abu, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah, Maktabah Madbuli: Mesir, 2003.
Moch Nor, Ichwan Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori Hermeneotika Nasr Abu Zaid,Cet. I, Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003).
Raharjo, Mudjia Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian, Arruz Media: Jogjakarta, 2008.
Sumaryono, E,  Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Pustaka Filsafat: Yogjakarta.
Hidayat, Komarudin, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, Paramadina Press: Jakarta, 1996.
Bertens, Karl Berl, Filsafat barat dalam abad XX, Gramedia: Jakarta, 1981.
Berg, Green, Essays In Lingusitics, Phoenik Books: Cicago, 1957.,
Ibrahim, Abd. Syukur, Sosiolinguistik, Usaha Nasional, 1995.
Nasution, Khoirudin, Pengantar Studi Islam,TAZZAFA-ACADEMIA: Yogyajarta, 2004.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al Qur’an, tejm, LkiS: Yogjakarta, 2005, cet. IV.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Pustaka setia: Bandung, 2006,  cet. V.



[1] MuslimDelft [blog archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.
[2] Henri Shalahudin, Al Qur’an Digugat, (Al QALAM Kelompok GEMA INSANI: Jakarta, 2007), Bab III, h. 1-4., lihat juga Abu Zaid, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif wa I-Kharafah, (Maktabah Madbuli: Mesir, 2003), cet. II, h. 21., juga Ichwan Moch Nor, Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori Hermeneotika Nasr Abu Zaid,Cet. I, (Teraju, Kelompok Mizan: Jakarta, 2003), h. 193-194., dan beberapa keterangan yang diambil dari web.sit. Muslim Delft [Blog Archive] Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, htm,Tanggal 3 Desember 2008.
[3] Shalahudin, Al Qur’an, h. 5-7.
[4] Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian, (Arruz Media: Jogjakarta,2008), h. 27., lihat juga, E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Pustaka Filsafat: Yogjakarta), h. 23., pengertian ini tapi Agak berbeda  dengan yang disampaikan oleh Komarudin Kidayat, menurutnya hermeneutika meruapakan definisi dari kata ‘Hermes’, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas  penghubung antara sang maha dewa dilangit dan para manusia di bumi. Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian hermeneutic, (Paramadina Press: Jakarta, 1996), h. 13., dan Karl Berl Bertens, Filsafat barat dalam abad XX, (Gramedia: Jakarta, 1981), h. 225., menurutnya kata hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari kata kerja Yunani hermeneo: mengartikan, menginterprestasikan, menafsirkan, menterjemahkan.
[5] Ibid., h.24-26., namun harus dimengerti bahwa hermeneutika juga bersifat memahami apa yang hadir pada masa ‘lalu’, ’terjadi sekarang’ dan ‘masa depan’, jika kita dasarkan pada kategori yang dibuat oleh Wilhelm dilthey. Atau hermeneutika sebagai ‘seni berfikir dan berbicara hanya merupakan aspek luar dari berfikir’, sebagaimana pendapat FDE Schelairmacher atau menurut Hans George bahwa ‘mengerti’ haruslah berangkat dari pengertian sebelumnya (pra pengertian) hermeneutika bekerja secara maksimal jika seorang filosof berusaha mengerti berangkat dari pengertian yang telah ia miliki sebelumnya, untuk lebih lengkapnya baca rujukan footnote makalah ini, Ibid., h. 35-128., dan juga Bertens, filsafat, h. 85-89 dan 224-235.
[6] Green berg, Essays In Lingusitics, (Phoenik Books: Cicago, 1957), h. 1., lihat juga Abd. Syukur Ibrahim, Sosiolinguistik, (Usaha Nasional, 1995), h. 26., Batasan yang diberikan oleh grendberg ini bisa difahami bahwa bahasa yang terbentuk dalam suatu masyarakat menjadi semacam symbol atau tanda yang disepakati dan diwariskan sehingga warga masyarakat yang menggunakan menjadi menyatu (terinternalisasi) dan memahami setiap kode atau informasi dengan perantaraan bahasa berlaku, sekaligus bahasa tersebut menjadi atribut budaya masyarakat tersebut.
[7] Sumaryono, Hermeneutika, h.25.
[8] Hidayat, Memahami, h.12.
[9] Perlu difahami bahwa yang menerapkan hermeneutika dalam mengkaji al-Qur’an sebenarnya bukan hanya Abu Zayd saja. Para sarjana lain yang menerapkan hermeneutic diantaranya: Fazlur rahman (dalam karyanya “Interpleting the Qur’an“), Amin Muhsin Wadud (Qur’an and Women), dan masih ada beberapa lagi yang juga menerapkannya, lihat Dr. Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam, (TAZZAFA-ACADEMIA: Yogyajarta, 2004), h. 82.
[10] Nasr Hamid Abu Zayd, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al Qur’an, tejm, (LkiS: Yogjakarta, 2005), cet. IV, h. 32-41. Dalam menerangkan analisisnya  Abu Zayd  banyak menukil  pendapat  Abdur Rohman Jalaluddin as Suyuti, Al Itqon fi Ulum al Qur’an, juz 1, Badrudin Muhamad bin Abdillah az Zarkasy, Al Burhan fi Ulum al Qur’an,  juz 1, Abdur Rohman ibnu Kaldun, Muqodimah, Dar ihya’ al Turast al Arabic, (Beirut, Libanon).
[11] Bertens, filsafat, h. 226.
[12] Zayd, Tektualitas,  h. 65-85.
[13] Bertens, filsafat, h. 89.
[14] Mengenahi pendapat para ulama’ tentang definisi Makkiy dan Madaniy lihat Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Pustaka setia: Bandung, 2006),  cet. V,  h. 104.
[15] Zayd, Tektualitas,  h. 88-95.
[16] Sumaryono, Hermeneutika, h.36.
[17] Ibid., h. 130-135.
[18] Ibid., h. 142-145.
[19] Ibid., h. 169-195.






PEDOMAN HIDUP AL-QURAN N AL-HADIST.....

2 comments:

  1. Top 10 Best Casino Sites in India (2021) - KTM Hub
    There 사천 출장샵 is a whole range 진주 출장마사지 of popular 경상남도 출장마사지 casino sites online with players from india and around the world. Best for Indian players. Top 10 문경 출장마사지 India casinos 여주 출장마사지

    ReplyDelete