DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................. i
BAB I........................................................................................................ ii
PENDAHULUAN..................................................................................... ii
A. Latar Belakang........................................................................................................... ii
B. Rumusan Makalah..................................................................................................... ii
BAB II ................................................................................................................................ 1
PEMBAHASAN.............................................................................................................. 1
1. Pengertian............................................................................................................ 1
2. Macam-macam Hadis Shahih.............................................................................. 5
3. Status Kedudukannya......................................................................................... 8
4. Kitab-kitab yang Memuat Hadis Shahih............................................................. 8
BAB III...................................................................................................... 9
KESIPULAN.................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSAKA....................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua
setelah Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala
tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya
mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan
hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi
atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan
setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu
untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran
Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam
periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya
sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima);
Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam
periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal
dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau
bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya
penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh
para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima
maupun meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai macam hadis yang
menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas
kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan
tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk
menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka kita perlu
mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama
hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan
mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat
mengetahui permasalahan-permasalahannya.
B. Rumusan
Masalah
Dengan uraian latar belakang diatas penulis hendak
menyajikan makalah yang
berkisar
pada permasalahan hadis shahih yang
bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1.
Pengertian
2.
Macam-macam
3.
Setatus
kedudukan
4.
Kitab-kitab
yang memuat hadis shahih
PEMBAHASAN
Hadis
Shahih
1. Pengertian
Kata Shahih secara bahasa merupakan kalimat musytaq dari kalimat
shahha yashihhu suhhan wa sihhatan artinya sembuh,sehat,selamat
dari cacat,benar.Sedangkan secara istilah yaitu:
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ
العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلىَ مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ
عِلَّةٍ
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan
yang adil, dhobit dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz
dan tidak pula cacat.[1]
ما
نقله عدل تا م الضبط متصل السندغير معلل ولاشاذ
“Hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil,sempurna ingatan,sanadnya bersambung-sambung
,tidak ber’illat dan tidak janggal.[2]
Dari
pengertian di atas dapat diketahui bahwa sebuah hadist dapat dikatakan sebagai
hadist shahih apabila memenuhi 5 (lima) persyaratan, yaitu :
- Sanadnya bersambung / al
Ittishal (الاتصال)
- Para perawinya ’adil (العدل)
- Para perawinya kredibel/ dhabt (الضبط)
- Tidak terdapat syadz (الشذوذ)
- Tidak terdapat ’illat (العلّة)
Contoh
:
Al
Imam al Bukhari rahimahullah berkata di dalam kitab Shahih beliau
(no. 4854) :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قال أَخْبَرَنَا
مَالِكٌ عَنْ اِبن شهاب عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قراَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
“’Abdullah ibn
Yusuf telah bercerita kepada kami, dia berkata : Malik telah mengabarkan kepada
kami, dari Ibn Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya, dia
berkata : saya
mendengar Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam membaca
surat “at Thur” di waktu shalat Maghrib”[3]
Derajat hadist di atas shahih karena semua
persyaratan hadist shahih pada sanadnya telah terpenuhi : para perawi tsiqah,
sanad bersambung, serta tidak adanya syadz dan ‘illat.
1.Definisi al Ittishal (الاتصال) :
هو سماع كل راوٍِ من الراوي الذي يليه
“yaitu
penyimakan/ pendengaran setiap rawi dari rawi sebelumnya”
Namun pengertian di atas masih kurang sempurna karena
penggunaan lafadz sama’ (pendengaran) bukanlah syarat bersambungnya
sanad. Ada beberapa bentuk lafadz yang dapat dipakai selain sama’,
seperti haddatsana (حَدَّثَنَا), akhbarana (أَخْبَرَنَا) sebagaimana
tertera pada contoh hadist sebelumnya. Oleh karenanya, definisi di atas dapat
dikoreksi menjadi :
أن كل راوٍِ من رواة الاسناد قد تحمّل الحديث متنا و سندا من
شيخه الذي فوقه في السند
“bahwa
setiap rawi harus membawakan hadist lengkap matan berikut sanadnya dari gurunya
yang memiliki posisi sanad di atasnya”[4]
2.Definisi syadz (الشذوذ)
هو رواية الراوي المقبول مخالفا من هو أولي منه إمّا عددا أَو
توثيقا
“yaitu
riwayat dari seorang perawi yang maqbul (dapat diterima
hadistnya) yang menyelisihi perawi yang lebih utama darinya, baik dari sisi
jumlahnya atau dari sisi tsiqahnya”
Dapat
pula didefinisikan sebagai :
ما رواه الثقة مخالفا من هو أوثق منه أو مخالفا جماعة فيه
“riwayat
seorang perawi tsiqah yang menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya
atau menyelisihi sekumpulan perawi tsiqah lainnya”[5]
3.Definisi al
‘Illat /penyakit (العلّة)
هي سبب يَقدِح في صحّة حديثٍِ ظاهره الصحّة والخلوّ منها
“yaitu
sesuatu yang dapat menyebabkan ternodainya sebuah hadist yang nampaknya shahih
dan tidak terdapat ‘illat di dalamnya”
‘Illat pada sebuah hadist hanyalah nampak
bagi para ahlul hadist yang mereka benar-benar mendalam ilmunya.
Hadist
yang terlepas dari ‘illat dapat pula didefinisikan sebagai :
ان يكون الحديث سالما مِن أيّ نوع مِن انواع الخطأ الواقع مِن
قِبل الثقة عن غير قصدٍِ
“hadist
yang selamat dari satu macam dari berbagai macam kesalahan yang timbul dari
seorang perawi tsiqah tanpa disengaja”[6]
4.Definisi Adil (العدل) :
هوالراوي الذي يحمل صفاتٍِ تحمل صاحبَها علي التقوي واجتناب
الادناس وما يُخِلّ بالمروءة عند الناس
“yaitu
rawi yang memiliki sifat-sifat tertentu yang mengantarkan pada ketakwaan(senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala), menjauhi hal yang kotor(menjauhi
maksiat) dan yang dapat menurunkan
kewibawaan di antara manusia”.
Berkenaan dengan ta’rif adil, al
hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Nuzhatun
Nadzar :
مَنْ له مَلَكَةٌ تَحْمِلُه على مُلازَمة التقوى والمروءة
“orang
yang memiliki tabiat yang membawanya pada ketakwaan dan muru’ah”
Yang
dimaksud dengan muru’ah adalah :
- Berperilaku sebagaimana
orang-orang, sesuai dengan tempat dan waktunya. Demikian menurut jumhur
ahli fiqh dari kalangan asy syafi’iyah.
- Menjauhi perkara yang kotor/
maksiat.
- Tidak melakukan suatu perbuatan
di tempat yang sunyi yang mana pelakunya akan merasa malu bila
melakukannya di hadapan orang lain.
Syarat-syarat
seorang perawi adil :
- muslim
- mumayyiz/ mukallaf
- menjauhi kefasikan (seperti :
mengaku mendengar sebuah hadist yang sebenarnya tidak pernah ia dengar,
berdusta atas Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam)
- menjauhi hal-hal yang
menurunkan kewibawaan/ muru’ah
- tidak lalai[7]
5.Definisi adh
dhabt/ kredibel (الضبط)
هوقوّة الحافَظة والوعي الدقيق وحسن الإدراك في تصريف الأمور
والثباتُ علي الحفظ وصيانة ما كتب منذ التحمّل والسماع إلي حين التبليغ والأداء
“yaitu
kuatnya penjagaan, perhatian, ketelitian, baiknya pemahaman, kokohnya hafalan,
serta apa yang ditulis senantiasa terjaga semenjak dia dapatkan dan dengarkan
sampai saatnya menyampaikan”
Dhabt terbagi menjadi dua :
1.
Dhabt ash Shadr (ضبط الصدر)
هوأن يحفظ الراوي ما سمعه حفظا يمنكنه مِن استحضاره متي شاء
“Hafalan
seorang rawi atas apa yang dia dengar yang memungkinkan bagi dirinya untuk
menyampaikannya kapan saja”
2.
Dhabt al Kitab (ضبط
الكتاب)
هو أن يصون كتابه الذي كتب منذ سمع فيه و صحّحه إلي أن يؤدّي
منه ولا يدفعه إلي من لا يصونه ويمكن أن يغيّر فيه أو يبدّل
“penjagaan
seorang rawi terhadap kitab yang ditulisnya semenjak mendengarnya dan
membetulkannya, sampai saat menyampaikannya dari kitab tersebut; dan dia tidak
menyerahkannya kepada orang yang tidak bisa menjaganya sehingga memungkinkan
orang tersebut merubah atau mengganti isinya”[8]
Ibnu
shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis
shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang
yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai
ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).
Ajjaj
al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis
yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi
lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz
tanpa illat”.
Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat
terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil
sanadnya, b. Perawi-perawinya adil, c. Perawi-perawinya dhabit, d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan
terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya).
Shubhi
Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat
keshahihan sebuah hadis, yaitu:
1.
Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya
bersambung sampai yang teratas.
2.
Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi
yang meriwayatkan memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang
lain yang lebih tinggi.
3.
Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang
mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya
terhindar dari illat.
Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin
tentang hadis shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak
menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan
kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad
yang bersambung (muttashil) sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan
oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syaz
maupun mu’allal (terkena illat).
Dengan demikian apabila ada hadis
yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq dan
sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.
Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat
maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan
oleh muhaddisin tentang hadis shahih diatas tidak
terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis shahih, namun dalam
penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak sama, misalnya dalam
hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan periwayat thabaqah berikutnya
harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa serah terima ini dapat
dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan sebab tidaklah menjamin
bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara langsung.[9]
2.
Macam-macam Hadis Shahih
Para
ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau
sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih
li Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan
tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan,
keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.Untuk
lebih jelasnya, berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ،
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ
أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ
: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ :
أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ
: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ
أَبُوك
Hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an
maupun illat.
b.
Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang
diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya,
dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat
keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain.Berikut
contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ،
حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة. ٍ
Hadis
tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih
li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut,
terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya
kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun
keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi
derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari
Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini
dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an
dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si
perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang
diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.Adapun martabatnya sebagai berikut:
1.Ashahhul
Asanid
yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan
pendapat mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1) Riwayat Ibn
Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2) Sebagian lagi
mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy
dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3) Imam Bukhari
dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam
Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan
karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis
dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang
meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung
menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari
Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang
disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).[10]
2.Muttafaq-‘alaihi
Yaitu
hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya oleh kedua imam hadits, Bukhary
dan Muslim. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan juga oleh Muslim dengan
riwayat yang satu dan mereka berdua sepakat menshahihkannya. Diantara
kitab-kitab yang mengumpulkan hadits yang berstatus muttafaq alaihi ini adalah
‘Umdatul Ahkam karya Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi (541-600H).
3.Infrada bihi’l Bukhary
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary sendiri, sedang Imam Muslim tidak
meriwayatkan.
4.Infrada bihi’l Muslim
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri, sedang Imam Bukhary tidak
meriwayatkan.
5.Shahihun ‘ala syartha’i’l-Bukhary wa Muslim
Hadits
Shahih yang tidak secara langsung dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim,
melainkan hadits itu telah memenuhi kriteria atau syarat-syarat Bukhari-Muslim.
Hadits dengan status seperti ini disebut dengan istilah Shahihun ‘ala
syartha’i’l-Bukhary wa Muslim. Meski keduanya tidak meriwayatkan.
Syarat-syaratnya yaitu rawi-rawi hadits yang dikemukakan terdapat dalam kedua
kitab shahih Bukhary atau Shahih Muslim.
Dikatakan demikian karena ada hadits tertentu yang tidak
terdapat di dalam kitab shahih Bukhari atau kitab Shahih Muslim, namun memiliki
perawi yang terdapat di dalam kedua kitab itu. Karena perawinya diterima oleh
Bukhari dan Muslim, maka meski hadits itu tidak tercantum di dalam kedua kitab
shahih, derajatnya dikatakan sebagai shahih juga, namun dengan tambahan kata
‘ala syarti albukari wa muslim.
6.Shahihun ‘ala syarthi’i’l-Bukhary
Hadits Shahih
yang menurut syarat Bukhary sedang beliau tidak meriwayatkannya.
7.Shahihun ‘ala syarthi’i’l-Muslim
Hadits Shahih
yang menurut syarat Muslim sedang beliau tidak meriwayatkannya.
8.Hadits Shahih lainnya
Yaitu yang tidak
menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim.[11]
3. Status Kedudukannya
Mengenai status
kedudukan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan
hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal
ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".[12]
4. Kitab-kitab yang Memuat
Hadis Shahih.
Manna’
Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan
bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah:[13]
a. Shahih
Bukhari
d. Shahih Ibn Hibban
b. Shahih
Muslim
e. Shahih Ibn Khuzaimah
c. Mustadrak
al-Hakim
Sedangkan
menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih
adalah:[14]
a. Shahih
Bukhari
e. Sunan an-Nasa’i
b. Shahih
Muslim
f. Sunan Ibn Majah
c. Sunan
Abu
Daud
g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d. Sunan
at-Tirmidzi
Nuruddin
‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan
bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain:[15]
a. al-Muwattha’
b. Shahih
Bukhari
c. Shahih
Muslim
d. Shahih
Ibn Khuzaimah
e. Shahih
Ibn Hibban
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
uraian makalah yang pemakalah paparkan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal.
1.
Hadis Shahih
Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan
melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil
lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal
(terkena illat).
Syarat-syarat
hadis shahih antara lain: a. Muttashil sanadnya b.Perawi-perawinya
adil c.Perawi-perawinya dhabit d.yang diriwayatkan tidak syaz
e.yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah(illat
yang mencacatkannya).
Hadis
shahih terbagi atas dua:
1.Shahih lidzatihi
2.Shahih li ghairihi
Tidak
terdapat perbedaan ulama tentang kehujjahannya terutama dalam masalah penentuan
hukum sesuatu.
Kitab-kitab
yang memuat hadis shahih, antara lain:
1) Shahih
bukhari
7) Shahih Ibn Khuzaimah
2) Shahih
muslim
8) Sunan Abu Daud
3) Mustadrak
al-Hakim 9) Sunan at-Tirmidzi
4) Shahih
Ibn Hibban
10) Sunan an-Nasa’i
5) Shahih
Ibn Khuzaimah 11) Sunan Ibn Majah
6) Sunan
Abu Daud
DAFTAR
PURSTAKA
2.Rahman Fatchur,Ikhtisar Musthalahul
Hadits,Bandung:PT.Al Ma’arif,1974.
4. al-Khatib,Muhammad
Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu,Beirut: Dar al-Fikr,
1975.
7. Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Bandung: CV
Diponegoro,2005.
8.al-Qatthan,Manna’ Khalil,Mabahits Fi
‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul pengantar
Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II,2006.
10. ‘Itr ,Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum
al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum
al-Hadis,Bandung: Remaja
Rosda Karya, Cet.II, 1997.
[3] Jubair ibn Muth’im
mendengarkan bacaan surat Ath Thur ini semasa masih kafir.
Dia berkata, “itulah awal mula bersemainya iman di dalam hatiku.” [Tadrib
ar Rawiy (2/4)]
[10] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu
wamusthalahatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 307.
[13] Manna’ Khalil al-Qatthan,Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan
oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar cet.II,2006),h,119-120.
[15] Nuruddin ‘Itr, Manhaj
an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum
al-Hadis(Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.II, 1997)h. 12.
No comments:
Post a Comment