Saturday, September 28, 2013

Hadis Shahih

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................. i
BAB I........................................................................................................ ii
PENDAHULUAN..................................................................................... ii
A.    Latar Belakang........................................................................................................... ii
B.     Rumusan Makalah..................................................................................................... ii
BAB II ................................................................................................................................ 1
PEMBAHASAN.............................................................................................................. 1
1.      Pengertian............................................................................................................ 1
2.      Macam-macam Hadis Shahih.............................................................................. 5
3.      Status Kedudukannya......................................................................................... 8
4.      Kitab-kitab yang Memuat Hadis Shahih............................................................. 8

BAB III...................................................................................................... 9
KESIPULAN.................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSAKA....................................................................................................... 10









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.

Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.

Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.

Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.

Dari uraian diatas maka kita perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.

B.     Rumusan Masalah

Dengan uraian latar belakang diatas penulis hendak menyajikan makalah yang
berkisar pada permasalahan hadis shahih  yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1.      Pengertian
2.      Macam-macam
3.      Setatus kedudukan
4.      Kitab-kitab yang memuat  hadis shahih
      









BAB II
PEMBAHASAN
Hadis Shahih

1. Pengertian
            Kata Shahih secara bahasa  merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha yashihhu suhhan wa sihhatan artinya sembuh,sehat,selamat dari cacat,benar.Sedangkan secara istilah yaitu:

مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلىَ مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ

“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat.[1]

ما نقله عدل تا م الضبط متصل السندغير معلل ولاشاذ
Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,sempurna ingatan,sanadnya bersambung-sambung ,tidak ber’illat dan tidak janggal.[2]
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa sebuah hadist dapat dikatakan sebagai hadist shahih apabila memenuhi 5 (lima) persyaratan, yaitu :
  1. Sanadnya bersambung / al Ittishal (الاتصال)
  2. Para perawinya ’adil (العدل)
  3. Para perawinya kredibel/ dhabt (الضبط)
  4. Tidak terdapat syadz (الشذوذ)
  5. Tidak terdapat ’illat (العلّة)
Contoh :
Al Imam al Bukhari rahimahullah berkata di dalam kitab Shahih beliau (no. 4854) :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قال أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ اِبن شهاب عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قراَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
“’Abdullah ibn Yusuf telah bercerita kepada kami, dia berkata : Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Ibn Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya, dia berkata : saya
 mendengar Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam membaca surat “at Thur” di waktu shalat Maghrib”[3]
Derajat hadist di atas shahih karena semua persyaratan hadist shahih pada sanadnya telah terpenuhi : para perawi tsiqah, sanad bersambung, serta tidak adanya syadz dan ‘illat.
1.Definisi al Ittishal (الاتصال) :
هو سماع كل راوٍِ من الراوي الذي يليه
“yaitu penyimakan/ pendengaran setiap rawi dari rawi sebelumnya”
Namun pengertian di atas masih kurang sempurna karena penggunaan lafadz sama’ (pendengaran) bukanlah syarat bersambungnya sanad. Ada beberapa bentuk lafadz yang dapat dipakai selain sama’, seperti haddatsana (حَدَّثَنَا), akhbarana (أَخْبَرَنَا) sebagaimana tertera pada contoh hadist sebelumnya. Oleh karenanya, definisi di atas dapat dikoreksi menjadi :
أن كل راوٍِ من رواة الاسناد قد تحمّل الحديث متنا و سندا من شيخه الذي فوقه في السند
“bahwa setiap rawi harus membawakan hadist lengkap matan berikut sanadnya dari gurunya yang memiliki posisi sanad di atasnya”[4]
2.Definisi syadz (الشذوذ)
هو رواية الراوي المقبول مخالفا من هو أولي منه إمّا عددا أَو توثيقا
“yaitu riwayat dari seorang perawi yang maqbul (dapat diterima hadistnya) yang menyelisihi perawi yang lebih utama darinya, baik dari sisi jumlahnya atau dari sisi tsiqahnya”
Dapat pula didefinisikan sebagai :
ما رواه الثقة مخالفا من هو أوثق منه أو مخالفا جماعة فيه
“riwayat seorang perawi tsiqah yang menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya atau menyelisihi sekumpulan perawi tsiqah lainnya”[5]
3.Definisi al ‘Illat /penyakit (العلّة)
هي سبب يَقدِح في صحّة حديثٍِ ظاهره الصحّة والخلوّ منها
“yaitu sesuatu yang dapat menyebabkan ternodainya sebuah hadist yang nampaknya shahih dan tidak terdapat ‘illat di dalamnya”
‘Illat pada sebuah hadist hanyalah nampak bagi para ahlul hadist yang mereka benar-benar mendalam ilmunya.
Hadist yang terlepas dari ‘illat dapat pula didefinisikan sebagai :
ان يكون الحديث سالما مِن أيّ نوع مِن انواع الخطأ الواقع مِن قِبل الثقة عن غير قصدٍِ
“hadist yang selamat dari satu macam dari berbagai macam kesalahan yang timbul dari seorang perawi tsiqah tanpa disengaja”[6]
4.Definisi Adil (العدل) :
هوالراوي الذي يحمل صفاتٍِ تحمل صاحبَها علي التقوي واجتناب الادناس وما يُخِلّ بالمروءة عند الناس
“yaitu rawi yang memiliki sifat-sifat tertentu yang mengantarkan pada ketakwaan(senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala), menjauhi hal yang kotor(menjauhi maksiat) dan yang dapat menurunkan kewibawaan di antara manusia”.
Berkenaan dengan ta’rif adil, al hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Nuzhatun Nadzar :
مَنْ له مَلَكَةٌ تَحْمِلُه على مُلازَمة التقوى والمروءة
“orang yang memiliki tabiat yang membawanya pada ketakwaan dan muru’ah
Yang dimaksud dengan muru’ah adalah :
  1. Berperilaku sebagaimana orang-orang, sesuai dengan tempat dan waktunya. Demikian menurut jumhur ahli fiqh dari kalangan asy syafi’iyah.
  2. Menjauhi perkara yang kotor/ maksiat.
  3. Tidak melakukan suatu perbuatan di tempat yang sunyi yang mana pelakunya akan merasa malu bila melakukannya di hadapan orang lain.
Syarat-syarat seorang perawi adil :
  1. muslim
  2. mumayyizmukallaf
  3. menjauhi kefasikan (seperti : mengaku mendengar sebuah hadist yang sebenarnya tidak pernah ia dengar, berdusta atas Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam)
  4. menjauhi hal-hal yang menurunkan kewibawaan/ muru’ah
  5. tidak lalai[7]
5.Definisi adh dhabt/ kredibel (الضبط)
هوقوّة الحافَظة والوعي الدقيق وحسن الإدراك في تصريف الأمور والثباتُ علي الحفظ وصيانة ما كتب منذ التحمّل والسماع إلي حين التبليغ والأداء
“yaitu kuatnya penjagaan, perhatian, ketelitian, baiknya pemahaman, kokohnya hafalan, serta apa yang ditulis senantiasa terjaga semenjak dia dapatkan dan dengarkan sampai saatnya menyampaikan”
Dhabt terbagi menjadi dua :
1.      Dhabt ash Shadr (ضبط الصدر)
هوأن يحفظ الراوي ما سمعه حفظا يمنكنه مِن استحضاره متي شاء
“Hafalan seorang rawi atas apa yang dia dengar yang memungkinkan bagi dirinya untuk menyampaikannya kapan saja”
2.      Dhabt al Kitab (ضبط الكتاب)
هو أن يصون كتابه الذي كتب منذ سمع فيه و صحّحه إلي أن يؤدّي منه ولا يدفعه إلي من لا يصونه ويمكن أن يغيّر فيه أو يبدّل
“penjagaan seorang rawi terhadap kitab yang ditulisnya semenjak mendengarnya dan membetulkannya, sampai saat menyampaikannya dari kitab tersebut; dan dia tidak menyerahkannya kepada orang yang tidak bisa menjaganya sehingga memungkinkan orang tersebut merubah atau mengganti isinya”[8]
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).

Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”.

Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya,  b. Perawi-perawinya adil, c. Perawi-perawinya dhabit, d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya).

Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
1.      Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
2.      Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
3.      Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
4.      Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat.

Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil) sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal (terkena illat).

 Dengan demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih. Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.

Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin tentang hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak sama, misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan periwayat thabaqah berikutnya harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan sebab tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara langsung.[9]

2. Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.       Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.Untuk lebih jelasnya, berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك  
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.

b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain.Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.  ٍ
Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.Adapun martabatnya sebagai berikut:
1.Ashahhul Asanid
 yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1)      Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2)      Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3)      Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).[10]
2.Muttafaq-‘alaihi
Yaitu hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya oleh kedua imam hadits, Bukhary dan Muslim. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan juga oleh Muslim dengan riwayat yang satu dan mereka berdua sepakat menshahihkannya. Diantara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits yang berstatus muttafaq alaihi ini adalah ‘Umdatul Ahkam karya Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi (541-600H).
3.Infrada bihi’l Bukhary
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary sendiri, sedang Imam Muslim tidak meriwayatkan.
4.Infrada bihi’l Muslim
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri, sedang Imam Bukhary tidak meriwayatkan.
5.Shahihun ‘ala syartha’i’l-Bukhary wa Muslim
Hadits Shahih yang tidak secara langsung dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, melainkan hadits itu telah memenuhi kriteria atau syarat-syarat Bukhari-Muslim. Hadits dengan status seperti ini disebut dengan istilah Shahihun ‘ala syartha’i’l-Bukhary wa Muslim. Meski keduanya tidak meriwayatkan. Syarat-syaratnya yaitu rawi-rawi hadits yang dikemukakan terdapat dalam kedua kitab shahih Bukhary atau Shahih Muslim.
Dikatakan demikian karena ada hadits tertentu yang tidak terdapat di dalam kitab shahih Bukhari atau kitab Shahih Muslim, namun memiliki perawi yang terdapat di dalam kedua kitab itu. Karena perawinya diterima oleh Bukhari dan Muslim, maka meski hadits itu tidak tercantum di dalam kedua kitab shahih, derajatnya dikatakan sebagai shahih juga, namun dengan tambahan kata ‘ala syarti albukari wa muslim.
6.Shahihun ‘ala syarthi’i’l-Bukhary
Hadits Shahih yang menurut syarat Bukhary sedang beliau tidak meriwayatkannya.
7.Shahihun ‘ala syarthi’i’l-Muslim
Hadits Shahih yang menurut syarat Muslim sedang beliau tidak meriwayatkannya.
8.Hadits Shahih lainnya
Yaitu yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim.[11]
3. Status Kedudukannya
Mengenai status kedudukan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".[12]

4. Kitab-kitab yang Memuat Hadis Shahih.

Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah:[13]
a.   Shahih Bukhari                       d. Shahih Ibn Hibban
b.  Shahih Muslim                        e. Shahih Ibn Khuzaimah
c.   Mustadrak al-Hakim

Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih adalah:[14]
a.   Shahih Bukhari                       e. Sunan an-Nasa’i     
b.  Shahih Muslim                        f. Sunan  Ibn Majah
c.   Sunan Abu Daud                    g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d.  Sunan at-Tirmidzi

Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain:[15]
a.   al-Muwattha’                                                                                     
b.  Shahih Bukhari                      
c.   Shahih Muslim
d.  Shahih Ibn Khuzaimah
e.   Shahih Ibn Hibban
f.   Al-Mukhtarah


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian makalah yang pemakalah paparkan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal.
1. Hadis Shahih
Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).

Syarat-syarat hadis shahih antara lain: a. Muttashil sanadnya b.Perawi-perawinya adil c.Perawi-perawinya dhabit d.yang diriwayatkan tidak syaz e.yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah(illat yang mencacatkannya).

Hadis shahih terbagi atas dua:
1.Shahih lidzatihi
2.Shahih li ghairihi

Tidak terdapat perbedaan ulama tentang kehujjahannya terutama dalam masalah penentuan hukum sesuatu.

Kitab-kitab yang memuat hadis shahih, antara lain:
1)      Shahih bukhari                  7)  Shahih Ibn Khuzaimah
2)      Shahih muslim                   8)  Sunan Abu Daud
3)      Mustadrak al-Hakim         9)  Sunan at-Tirmidzi
4)      Shahih Ibn Hibban            10)  Sunan an-Nasa’i
5)      Shahih Ibn Khuzaimah     11)  Sunan  Ibn Majah
6)      Sunan Abu Daud



















DAFTAR PURSTAKA

2.Rahman Fatchur,Ikhtisar Musthalahul Hadits,Bandung:PT.Al Ma’arif,1974.
4. al-Khatib,Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu,Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
7. Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Bandung: CV Diponegoro,2005.
8.al-Qatthan,Manna’ Khalil,Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II,2006.
10. ‘Itr ,Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis,Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.II, 1997.

















[2] Drs.Fatchur Rahman,Ikhtisar Musthalahul Hadits(Bandung:PT.Al Ma’arif,1974),h,117.
[3] Jubair ibn Muth’im mendengarkan bacaan surat Ath Thur ini semasa masih kafir. Dia berkata, “itulah awal mula bersemainya iman di dalam hatiku.” [Tadrib ar Rawiy (2/4)]

[4] At Ta’liqat al Atsariyah, h. 21.
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 307.

[12] Q.S al-Hasyr : 59


[13] Manna’ Khalil al-Qatthan,Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II,2006),h,119-120.

[15] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis(Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.II, 1997)h. 12.

No comments:

Post a Comment